Tawa Penuh Kasih

Tsukihiko Yoshikazu × Hizafa Rein. #FaureOCs; #ShikaRei.

A sweet story wrapped in comedy. written by @dreamereein (Faure).

#OriFictArchives. #FaureStory; Travel Chain Universe.


Sepuluh tahun lamanya. Semenjak perpisahan itu berlangsung, tanpa kabar yang jelas. Seolah dunia sedang tidak berkehendak agar sepasang insan itu bisa bersatu.

Sebagai teman. Sebagai sahabat. Atau mungkin, sebagai sesuatu yang lebih dari itu? Dengan kepala yang penuh tanda tanya, ia menyadari bahwa beberapa hari ini tidurnya ia semakin sering.

Apakah mimpi mulai membuat ia lupa akan dunia nyata? Sepertinya tidak. Bahkan, untuk saat ini, ia telah terbangun. Mulai melangkahkan jenjang kaki, agar bisa bertemu sosok yang telah mau tak mau harus melepaskan kepergiannya, sewaktu kecil dahulu.

Pintu bel berbunyi, rumah kontrakan itu tiba-tiba saja kedatangan tamu. “Sebentar.” Seseorang mulai membukakan pintunya. Tampaklah seorang yang sepertinya bukan figur manusia yang sedang dicarinya.

“Ah, selamat datang. Yoshikazu-san sedang mencari Rein?” ujarnya, menyambut ia dengan baik. Benar saja, seseorang yang bisa dia bedakan. Kembaran Reinーseorang yang sedang dicarinya.

Ia mengusap leher belakangnya, sudah merasa telah lama tidak berkunjung. Padahal, baru-baru ini ia berkunjung. Dengan ajakan sang kakaknya; sosok yang membukakan pintu sekarang ini.

“Begitulah. Apakah dirinya ada?” Ragu, ia bertanya. Karena, bagaimanapun juga kembaran sang gadis pujaan hati, tidak sedekat itu dengan kakaknya ataupun dia sendiri.

Hanya saja, pemuda itu; Tsukihiko Yoshikazu, menyuruhnya agar untuk memanggil nama depannya seperti si kembaran. Supaya tak terjadi kecanggungan diantara mereka. Seperti kejadian masa lampau.

Lagi pula, seakrabnya mereka karena ia melihat sosok kakak yang hangat pada seorang Hizafa Rain. Figur dari kembaran gadis yang sedang dicari oleh dia, Hizafa Rein. “Sebenarnya, Rein belum pulang. Ia masih bekerja sambilan, selagi menunggu masuk saja ke dalam. Ayo!”

Sungguh, Yoshikazu merasa tidak enak dengan itu. Sebaik-baiknya Rain pada dia, sosok itu cukup tegas dibandingkan Rein. Dia tidak mau juga, kalau harus mendengarkan ceramah dari kedua orang yang bermarga sama.

“Tidak perlu repot-repot, kira-kira dirinya pulang jam berapa biasa?” Balik melontarkan pertanyaan, ia pun menolak tawaran dari Rain.

“Hmm, tidak akan lama, shift kerjanya Rein sering kali berubah menyesuaikan kegiatan di sekolah,” jelasnya. Yoshikazu mengangguk, ia mencoba memahaminya.


Setelah diberikan penjelasan dan pembicaraan panjang yang membosankan itu, tibalah Rein di sana. “Astaga, kenapa tiba-tiba kemari?” tanyanya Rein, yang memang baru saja tiba.

“Rein, suruh dia untuk masuk. Aku yang menyuruh dia takkan mau,” kata Rain cepat. Seperti mengerti dengan kode sang kakak, ia mulai menyuruh Yoshikazu ikut masuk. Agar dengan ini Yoshikazu berniat masuk, tanpa harus menunggu di luar lebih lama lagi.

“Hei, jangan mendorongku masuk begitu saja.” Yoshikazu merasa tidak terima, kenapa setelah ada Rein ia malah menjadi seorang laki-laki yang melemah dan dengan mudah didorong masuk ke dalam rumah itu, bersamaan dengan Rain yang sudah duluan masuk ke dalam.

“Ya, ya, aku tahu seorang Tsukihiko Yoshikazu pasti akan menolak hal seperti itu,” cibir Rein. Ia berani, karena sudah beberapa hari yang lalu diri mendapatkan ingatan tentang temanーatau mungkin, sahabatnya dulu.

Rein bisa seberani itu karena ia sudah merasakan kedekatan dengan seorang, entah itu lawan jenis maupun sejenis. Tetapi, beda cerita kalau ia masih menjaga jarak terhadap orang tersebut.

“Huh?”

“Mumpung harinya spesial, kenapa kalian tidak pergi jalan-jalan berdua?” celetuk Rain tiba-tiba. Membuat keduanya langsung kaget bersamaan. Sungguh, tampak lucu dimatanya.

Rein mengerutkan alisnya, ia tidak mungkin melakukan itu. Lagi pula dirinya bukan tipe orang yang akan keluar seenak hatinya, kalau bukan hal yang penting. Menurutnya, lebih asik di rumah. “Kalau begitu, bagaimana dengan kakak sendiri?” tanyanya, sedikit khawatir.

Kakaknya mulai tersenyum. “Oh, jangan khawatirkan aku. Ada Mamo-kun yang menemaniku, jadi bersenang-senanglah kalian.” Tampak senang kakaknya itu, dikala mengatakan seseorang yang ia sebut sebagai Mamo-kun. Ya, itu adalah kekasihnya.

Rein melupakan sebuah fakta, kalau selama ini putra angkat dari keluarga Chikei, yaitu Chikei Mamoru telah menjalin hubungan beberapa tahun lalu, bersama sang kakak. Seromantis itu mereka. Saking romantisnya, Rein selalu bisa mendapatkan ide untuk membuat kalimat manis yang kelak disimpan untuk dirinya dalam sebuah buku.

“Ah, aku lupa tentang itu. Tunggu sebentar, jadi kalian akan berpergian juga?” ujar Rein, mulai bertanya-tanya. Dia sedang heran akan perubahan ekspresi sang kakak, yang tidak dapat ditebak ataupun kalimat yang ia lontarkan baru saja.

Fufu~ tentu saja!”

“Aku tidak keberatan, Rein mau jalan-jalan denganku, tidak?” Yoshikazu keterlaluan, pikir Rein.

Senyuman manis yang terpatri menjadikannya semakin lucu nan mengagumkan bagi dia. Percayalah, kalau tiada sang kakak berada di tempat itu, ia akan mencubit habis-habisan wajah sang pemuda.

Benar-benar tidak baik untuk jantungnya.

“Oho? Aku pasti akan mengizinkan, karena itu Yoshikazu-san. Tetapi, kembali ke Rein lagi, ya.” Tepukan ringan mendarat dibahu dia yang disebutkan. Astaga, mengapa sang kakak selalu saja menyudutkannya seperti ini? Tidak habis pikir.

“Baiklah, aku berkenan.”

Rain tersenyum puas, ia pun berkata pada Yoshikazu saat itu juga, “Tolong bertanggung jawab, ya?” Sebuah pesan yang membuat Yoshikazu perlu mencemaskan seorang Hizafa Rein saja.


Saat ini, ia tidak mengerti akan dibawa ke mana dirinya. Sedari apa yang disebutkan sang kakak, ketika ia mulai mempersiapkan dirinya untuk pergi dengan pakaian kesukaannya. Tidak begitu mencolok dengan warna, tetapi akrab dengan helaian rambut dia sendiri.

“Hei, sekarang mau ke mana?” Rein mulai binggung, sedari tadi pergelangan tangannya dipegang oleh Yoshikazu, yang sepertinya tidak ingin dia lepas dari pandangan. Padahal, keduanya saling berada disamping masing-masing.

“Ke mana saja, asalkan tidak membuat Rein merasa lelah.”

Oh, astaga.

Tentu saja ia merasa sangat-sangat lelah, kalau pergi keluar begini. Jepang selalu ramai dengan toko-tokonya di hari yang senja seperti ini, membuat energi sosialnya semakin menurun. Takut kalau diri mendapati orang yang akan terus berbicara. Ia tidak pernah bisa meladeninya.

“Sekarang juga aku lelah sebenarnya,” gumam Rein tanpa sadar.

Pendengaran Yoshikazu itu cukup bagus, berbanding terbalik dengan penglihatannya. Alhasil, netra merahnya mencari-cari apakah ada sebuah bangku kosong yang bagus. Kebetulan saat ini mereka berjalan ke pinggiran taman kota.

Meskipun kelihatan ramai berlalu lalang orangnya, tidak luput dari pandangan sang lelaki bisa menemukan sebuah bangku. “Rein, kalau duduk di sana mau tidak?” Sembari menunjuk ke arah yang akan mereka tuju. Rein menyetujuinya.

Pada akhirnya, Rein bisa duduk lagi. Untuk sekarang, pekerjaan menghidupi diri bersama kakaknya tidak sampai di sana. “Lokasi yang indah, dirimu selalu pintar dalam menemukan tempat seperti ini.”

Rein memuji Yoshikazu, dan hal itu membuat dia merasa senang. Sudah lama hal-hal seperti ini menjadi keinginannya. Dipuji seseorang itu menyenangkan, hanya saja selama ini pujian selalu mengarah pada kakaknya, Tsukihiko Shiyu.

Sehingga, ketika ia mendapati bahwa Rein dulu beberapa kali memujinya, ia selalu menyukainya. Terkadang, dirinya merasa rindu dengan momen masa kecil mereka itu.

“Oiya, sebelumnya maaf. Bagaimana suasana di Indonesia? Aku ingin tahu sedikit,” ucap Yoshikazu. Dia merasa ragu, tetapi mungkin saja untuk kali ini, ia bisa meluapkan rasa penasarannya.

Rein menoleh ke arahnya, yang tadi tidak melihat ke arahnya. Sementara Yoshikazu selalu melihat dia. “Ah, tidak mengapa. Suasana di Indonesia? Berbeda dengan Jepang pastinya, bukankah Fauraza pernah mengatakan padamu? Dia pernah tinggal di sana juga, kan?” tanya Rein balik.

Menggaruk wajahnya, ia ragu akan hal itu. “Ya, itu benar. Tetapi itu sudah lama sekali, dan seperti yang Rein tahu. Aku tidak terbiasa dengan keahlian dirinya berbicara.”

Rein mulai melukis tawanya. “Sama saja denganku berarti,” katanya tanpa sadar. Yoshikazu sudah mengetahui hal itu. “Kalau begitu, bagaimana dengan bahasanya? Apakah Rein bisa berkomunikasi dengan orang di sana?”

Menggali dan terus menggali topik yang sama, agar peristiwa ini bisa berjalan dengan lama. Ya, seperti itulah gaya Yoshikazu ketika ingin berbincang lama dengan seorang yang akrab baginya. Selain Rein, ada satu orang lagi. Orang itu adalah sepupunya sekaligus temannya juga.

Tetapi, kesampingkan hal itu. Saat ini, fokus utama adalah pada Rein yang sedang berpikir tuk bisa membalas pertanyaan dari Yoshikazu. “Ah, maafkan aku,” sahut Yoshikazu menyadari perbedaan gaya Rein menjawab soalan darinya.

Sementara itu, Rein menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak apa-apa, aku punya teman kok di sana. Awalnya aku tidak terbiasa, tetapi Ayahku juga mengajariku beberapa kosakatanya agar aku bisa memahami orang berbicara dengan bahasa Indonesia,” jelas Rein panjang.

“Aku melupakan kalau Ayahnya Rein adalah orang Indonesia juga, maaf? Lalu, kosakata apa yang paling sering digunakan? Aku mau tahu.” Entah mengapa sepertinya Rein merasa bahwa Yoshikazu mulai tertarik dengan kehidupannya selama di Indonesia, sewaktu dulu.

Rein mulai mengingat-ingat. “Kata-kata seperti, selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, mungkin? Untuk bahasa Jepang sendiri sampai sekarang aku masih belum fasih, karena selama berada di Indonesia sulit sekali membagi waktunya tuk mempelajari semuanya,” balas Rein.

Yoshikazu mengurungkan niatannya untuk bertanya lebih banyak, namun ia mulai berkata, “Sekarang sudah cukup bagus, kok. Oh? Aku sepertinya pernah mendengar kata-kata itu dari dirinya.”

Rein mengulas senyum, ia mengetahui siapa orang yang disebutkan sebagai dirinya. Seperti halnya tadi, “Fauraza masih sering kali berkata seperti itu, ya?” Rein mulai tertawa. Sungguh, tidak menyadari bahwa telah menjelang malam hari. Tawa pun menjadi saksi bisu keberlanjutan acara jalan-jalan mereka.

“Begitulah.”


“Shika, ini enak sekali!” Rein berbinar-binar, ekspresinya kembali hadir tidak tahu mengapa. Seolah kesukaannya bisa dengan sempurna membuat orang langsung berubah 360°.

Yoshikazu tertawa kecil, “Seenak itu sampai makannya berantakan? Mirip seperti anak kecil, lho.” Astaga, inilah Yoshikazu yang asli. Jadi, sedari tadi sosok Yoshikazu yang masih tertutup atau bagaimana?

Mulai pemikiran aneh datang tiba-tiba. Rein semakin tidak mengerti, “Huh? Apa-apaan sekarang mengejekku?” Malah dengan polosnya, Yoshikazu hanya menggelengkan kepala pelan.

“Yang pasti itu tidaklah benar, mana mungkin Rein-ku seperti itu.” Ia tersenyum lagi dan lagi.

Kesal. Tentu saja!

“Hei.”

Rein sekesal itu kalau Yoshikazu sudah menyebutkan kata 'ku' setelah namanya. Seolah-olah dia mengklaim dirinya menjadi milik dia. Tunggu sebentar, apa pemikiran itu? Rein lebih memilih melanjutkan sesi makan kuenya.

Ya, saat ini mereka berada di sebuah toko kue, di mana toko tersebut adalah langganan dari Yoshikazu. Beberapa kali, tidak sesering Rein. Ia akan berkunjung tuk membeli kue yang tersaji di sana.

“Omong-omong, itu adalah hadiah dariku,” kata dia kemudian. Rein yang telah berhasil menyelesaikan sesi makannya, kembali menatap Yoshikazu. Mereka berada disatu meja yang sama.

“Aku tidak sedang ulang tahun sekarangー”

“Bukan itu, kata kakakmu hari ini adalah hari spesial.”

“Hmm, spesial?” Masih merasa bingung.

“Iya. Happy White Day, Rein.

“Oh iyaーeh, sebentar kakakku?” Rein masih memproses maksudnya. “Astaga, yang benar saja?!”

Sungguh kisah yang penuh dengan komedi.

End.