Samidare [五月雨]

Satsuki Aoi × Yukihime Aoi. #FaureTrade; #TsukiHime.

A simple moment, but so memorable. The story of the prince and his beloved princess. written by @dreamereein (Faure).

#FanfictionArchives; #Yumeships. #Tsukiuta. The Animation © TSUKINO TALENT PRODUCTION.


Semula mentari bersembunyi di balik awan-awan yang kini mulai menari menjauhinya. Tepat pada saat itulah sang mentari muncul dan menunjukkan jati dirinya, mengirimkan cahaya keemasan yang perlahan menyapu permukaan gedung-gedung tinggi. Beberapa perumahan yang memiliki jendela kaca kini memantulkan sinarnya dengan gemilang, seolah menyambut pagi yang baru dengan kilauan yang hangat. Tidak hanya memantulkan sinarnya, tetapi juga menelusup di antara celah pepohonan, menciptakan pola-pola cahaya di trotoar yang mulai ramai oleh langkah kaki yang tergesa-gesa. Telihat saat ini jalanan telah dipenuhi oleh para penduduk kota yang sudah mulai menjalankan aktivitasnya sehari-hari.

Di beberapa area, terdapat kedai-kedai kopi mulai dipenuhi pelanggan yang mengantre dengan wajah masih mengantuk, sementara aroma roti panggang dan kopi hangat menyebar di udara, memberi semangat baru bagi mereka yang bersiap menghadapi hari. Tidak jauh dari kedai kopi yang menjadi langganan orang dewasa yang mampu mengembalikan semangat pagi hari tadi, terdapat sebuah toko bunga yang dikelola oleh seorang wanita muda. Setiap pagi, wanita itu selalu sibuk akan aktivitas kesehariannya dalam mengurus beberapa tanaman hidup yang menghiasi halaman toko bunga yang telah lama dia bangun, dengan menyisihkan uang dari hasilnya bekerja paruh waktu.

Pemilik toko bunga itu bernama Yukihime Aoi atau biasanya lebih akrab disapa Hime, oleh orang-orang terdekatnya. Semenjak SMA dulu, Hime telah menyisihkan sebagian uang yang dihasilkan dari pekerjaan paruh waktunya. Tidak berselang lama, sampai akhirnya ia menyelesaikan jenjang pendidikannya. Terkadang, disela-sela aktivitas kesehariannya sebagai florist, dirinya juga merupakan seorang penggemar dari idola dari grup ternama, yaitu Six Gravity. Sudah lama dia menjalani kehidupannya sebagai penggemar, kerap kali membuat dirinya ingin selalu menghadiri beberapa acara Six Gravity. Hingga tibalah masa di mana keduanya mulai menjalin keterikatan sebagai pasangan, mereka menyatakan bahwa mereka berpacaran.

Figur indah yang merupakan seorang idola yang sering dipuji sebab ketampanannya yang luar biasa, kini telah menjadi pasangan dari seorang wanita yang luar biasa pula akan kecantikannya. Satsuki Aoi adalah nama dari sang idola tersebut. Sebuah kebetulan kedua nama depan mereka sama. Alhasil, si wanita itu tetap dipanggil sebagai Hime. Takutnya, kalau dia disapa sebagai Aoi juga, yang ada mereka berdua menolehkan kepalanya. Walau tetap ada kemungkinan, Hime sendiri merasa terpanggil, karena mau bagaimanapun Aoi juga namanya, sementara Hime adalah penggalan kata dari nama marga kepunyaan miliknya, yang kini telah menjadi sebutan akrab untuknya.

Awalnya, saat Hime mulai berpacaran dengan Aoi, ia sempat berpikir bahwa itu sedikit mustahil. Sadar bahwa pekerjaan kekasihnya itu merupakan seorang idola, rasanya agak kurang pantas ketika ada orang yang mengenalnya, entah itu penggemar ataupun orang yang memang tidak asing dengan perawakannya. Sebab itu, Hime sering mampir ke asrama Six Gravity sebulan sekali, untuk berjumpa dengan kekasih tercintanya, Aoi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dalam asrama, lantaran mereka sadar bahwa hal itu tidak bisa sering mereka lakukan, tanpa adanya penyamaran tertentu. Biasanya, Hime sering menyamarkan dirinya dengan berpenampilan seperti laki-laki, supaya Aoi bisa bebas tanpa harus menggunakan masker. Hanya saja, jika hal itu tidak dilakukan saat dalam jangka waktu yang mendadak, Hime masih bisa mempersiapkan dirinya.

Tangannya mengusap keringat, tanda telah berakhirnya kegiatan dalam mengurus tanaman yang menghias halaman di depan toko bunganya. Hime mengambil napas panjang, “Akhirnya selesai juga!” serunya tampak bahagia.

Kesehariannya dalam mengurus tanaman telah ia selesaikan, ternyata hal itu tidak terlalu memakan waktu yang lama. Kini halaman depan tokonya telah dipenuhi oleh bunga hidup dalam pot yang sudah tertata rapi, sehingga bisa menciptakan suasana segar di pagi hari yang mana cuacanya juga cukup mendukung, serta menenangkan bagi siapapun yang melewati tokonya. “Nah, kalau seperti ini jadinya lebih enak dipandang,” ujarnya entah kepada siapa.

Sedari tadi, mata birunya terus memperhatikan tanaman hidup yang dia urus sebelumnya. Rambut hitamnya terikat rapi berbentuk ekor kuda sedikit lebih tinggi sangat memudahkan dirinya dalam beraktivitas mengurus tanaman itu. Ia selalu memastikan agar setiap bunga yang berada di luar tokonya ini telah mendapatkan sinar matahari yang cukup, supaya nantinya mereka bisa dapat tumbuh dengan sangat cantik.

Pagi ini, Hime telah menyelesaikan aktivitasnya di luar toko, yang berarti sekarang ia perlu menuntaskan aktivitas di dalam toko miliknya. Hime bergumam pelan, “Lalu sekarang bagian dalam tokonya pula, kira-kira bisa terselesaikan tidak, ya?”

Lonceng berbunyi ketika ia memasuki tokonya sendiri, ada aroma bunga yang selalu tercium lembut setiap kali ia masuk ke dalam tokonya. Saat hari sibuk, Hime menghabiskan waktunya untuk merangkai buket bunga kepada pelanggan yang memesan buket bunganya, entah itu hanya sekadar penghias meja, untuk hadiah ulang tahun, atau mungkin sebuah pernikahan. Tentunya, jika ada sebuah kejadian atau acara tertentu yang membuatnya perlu mengirimkan buket bunga sedikit lebih mewah, seperti untuk pernikahan tadi, ia sudah memberitahukan agar dipesan jauh-jauh hari. Pada dasarnya, Hime juga membutuhkan sedikit lebih banyak waktu untuknya bekerja dalam merangkai buket bunga dan akhirnya ia bisa menghasilkan karya buket bunga yang terbaik.

Tangan Hime sibuk mencari lembaran kertas yang mana ia tuliskan catatan pemesanan buket bunga dari beberapa pembelinya. “Sebuah buket bunga untuk kelulusan pacarnya, ya? Romantisnya anak-anak zaman sekarang ini,” kata Hime sedikit tertawa kecil. Ia benar-benar dibuat gemas karena catatan yang dibacanya sekarang ini.

Kebetulan pula suasana hatinya saat ini sedang berada dalam perasaan yang sangat baik. Rasanya tidak akan pernah luntur senyuman yang sedari tadi pagi ia lukiskan pada kurva indah bibirnya. Seperti biasa, sebelum Hime memulai aktivitasnya setiap pagi untuk membuka toko bunga, tidak lupa untuk menyempatkan diri memberikan kabar atau sekadar menyemangati sang terkasih.

Sebelumnya, ia pernah melupakan untuk bertukar sapa dengan sang kekasih, sehingga kenangan itu membuatnya kembali teringat akan mimik wajah yang biasanya menunjukkan senyuman luar biasa menawan, justru menyiratkan rasa cemas dan khawatir pada waktu itu. Takutnya, Aoi nanti akan mengkhawatirkannya lagi dan akhirnya malah mengganggu konsentrasi pekerjaan sang terkasih. Padahal menurutnya, sang pangeran itu adalah orang yang profesional dalam bekerja.

Akan tetapi, pangerannya itu tetaplah seorang manusia yang bisa merasakan berbagai macam perasaan, apalagi pekerjaannya sebagai idola yang terkadang membuat lebih sibuk, tidak heran untuk beberapa kali ia sempat kehilangan fokus sebab pikirannya yang berlebihan. Ada sebuah alasan mengapa kekasihnya sering kali dipanggil sebagai pangeran, terutama di kalangan penggemar.

Rahasia umum keluarga Satsuki adalah para lelakinya yang tumbuh di keluarga tersebut, terlahir dengan ketampanan luar biasa. Bahkan, tidak heran pula kalau seperti ada kilatan cahaya yang menyinari pada saat senyuman terlukis pada bibir mereka. Namun, bukan berarti hanya ada pangeran. Kekasihnya Aoi ialah Hime, yang namanya juga—meskipun itu merupakan nama marganya—memiliki makna seorang putri. Benar-benar seperti takdir, sang putri untuk si pangeran tampan, dan si pangeran untuk sang tuan putri yang cantik jelita. Selain itu, hal yang paling lucunya, kedua nama depan mereka sama-sama Aoi. Inilah alasan mengapa orang-orang disekitar Hime, memanggilnya dengan nama marganya. Terlebih, kekasihnya pula turut serta memanggil dengan nama itu.

Dengan cermat, Hime akhirnya mengetik beberapa kalimat pada ponselnya. Namun, tidak berselang waktu yang lama, Hime sedikit dikagetkan oleh respons dari kekasihnya. Tertulis balasan dari Aoi di ponselnya, ternyata Aoi mengajak dirinya untuk pergi berkencan nanti sore, selain membalas ucapan selamat pagi dari Hime, dan ia juga mengatakan terima kasih kepadanya, karena ia telah memberitahu kabarnya.

“Eh, apa? Aoi-kun mengajak berkencan di luar? Astaga, tiba-tiba sekali….” Hime benar-benar terkejut. Hime awalnya menduga jika hari ini Aoi akan sibuk seharian ini, karena latihannya sebagai idola cukup menghabiskan banyak waktu.

Maka dari itu, dengan segera Hime membalas pesan sang terkasih, dirinya akan berusaha mempersiapkan penampilannya untuk menyamar sebagai laki-laki dengan pakaian yang memang sudah tersimpan rapi di lemarinya. Aoi sudah mengetahui kebiasaan Hime seperti itu, setiap kali mereka memutuskan untuk berkencan di luar ruangan.

Awalnya, Aoi tidak ingin membuat Hime merasa harus direpotkan untuk menyamar sebagai laki-laki, pada saat mereka berkencan di luar nantinya. “Padahal hal seperti itu tidak masalah bagiku,” gumamnya.

Percayalah, Hime lebih tidak ingin membuat Aoi kerepotan, walaupun itu sekadar menggunakan masker. Ia juga ingin menatap lebih lama wajahnya yang tampan, tanpa harus ditutupi oleh masker.

Sekarang ini, Hime tengah tenggelam dalam kesibukannya merawat tanaman yang tertata rapi di dalam toko bunga miliknya. Meski begitu, bukan berarti hanya bagian luar saja yang dipenuhi bunga. Justru, di dalam toko terdapat lebih banyak bunga yang tersusun rapi di rak kayu bertingkat, yang memiliki warna cokelat alami dengan permukaan halus akibat lapisan pernis tipis. Beberapa rak menempel pada dinding, sementara yang lain berdiri sendiri, menopang berbagai pot kecil berisi tanaman hias. Rak-rak ini sudah dirancang oleh Hime sejak awal, tidak hanya untuk menampung koleksi bunganya, tetapi juga agar pelanggan bisa dengan mudah melihat dan memilih bunga yang mereka sukai. Hal ini sudah direncanakan dengan baik oleh Hime, bahkan sebelum toko bunga ini ada.

Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela besar di bagian depan toko bunga, membiaskan warna-warna lembut dari kelopak yang tertata rapi di rak. Hal itu menandakan bahwa udaranya terasa lebih hangat dibandingkan sejuknya pada saat pagi tadi, sebelum sang mentari menunjukkan cahaya kehangatan terkhusus untuk semua makhluk hidup yang membutuhkannya.

Suara gunting beradu dengan batang, plastik pembungkus itu terdengar berdesir halus saat dilipat, dan dentingan kecil vas kaca yang saling bersentuhan mengisi keheningan. Hime mulai menata ulang stok bunga segar, sesekali dirinya memeriksa daun-daun yang mulai layu dan memilah mana yang masih layak dijual.

Suara asing menyapu indra pendengarannya, saat kepala Hime menoleh ke arah jendela ternyata ia melihat rintik-rintik hujan telah turun. Senyuman yang semula merekah menjadi sedikit kurang berkesan tuk dipandang. Mata sebiru lautan membentak itu, sejenak menatap fenomena air hujan yang turun ke tanah, serta menari dengan bebas di trotoar.

“Ya ampun, ternyata turun hujan. Perasaan saat tadi aku lihat langitnya masih terlihat cerah,” kata Hime, masih memperhatikan hujan dari balik jendela toko bunganya. Sungguh aneh ketika hujan turun tanpa peringatan, seolah dunia ingin memberikan kejutan kecil di tengah kesibukan kota yang padat.

Sejenak, Hime berpikir hujannya akan berhenti dalam beberapa waktu kemudian. Kendati langit masih tampak cerah, hujan tetap membasahi jalanan. Hime melihat ke arah langit-langit dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa itu hujan panas? Seingatku, pernah juga ada fenomena hujan pada saat musim panas.”

Hime sendiri tidak mau mengambil risiko untuk melihat ke luar, takutnya kalau hujan yang sedang turun itu memang hujan panas yang mana merupakan suatu fenomena meteorologi, turunnya hujan pada saat matahari sedang bersinar. Sehingga ia memutuskan hanya mendengarkan suara bulir-bulir hujan dari dalam toko bunga miliknya. Hime menghela napas pelan. Kalau ini memang hujan panas, seharusnya tidak akan berlangsung lama.

Udaranya sedikit lebih dingin sewaktu hujan itu mulai membasahi trotoar, Hime kembali melanjutkan aktivitasnya untuk merangkai buket bunga yang dipesan seseorang. Dia tadi sempat melamun lama sesekali menatap hujan turun dari balik jendela tokonya, kini jari-jari yang sedari tadi tanpa sadar telah selesai menggulung pita dari bunga yang ia rangkai sebelum ini. Suasana hujan yang mendayu membuat Hime sedikit hanyut dalam pikirannya sendiri, hingga waktu terasa berjalan lebih cepat daripada sebelum dia beraktivitas tadi.

Angin membawa sisa hujan yang turun sejak pagi, saat matahari masih bersinar. Kini langit mulai memperlihatkan warna senja yang menenangkan, sementara jalanan tetap basah tersapu angin. Langit yang kelabu itu masih dihiasi oleh ritme gerimis yang berjatuhan di atas dedaunan. Entah mengapa, udara terasa lebih segar setelah hujan reda, meskipun musim panas telah tiba.

“Aku jadi teringat sama Aoi-kun,” katanya pelan. Hujan yang muncul di awal musim panas, justru mengingatkannya pada figur indah nan menawan yang mana sudah akrab di benak Hime. Dari balik jendela, sepasang mata biru milik si jelita itu menatap keluar, memperhatikan langit yang perlahan berubah—kelabu yang semula suram kini mulai berganti dengan semburat jingga dan merah muda.

Sudah berjam-jam lamanya, Hime akhirnya duduk lebih santai di sebuah kursi kayu yang berada di samping jendela. Ia mengambil napas panjang setelah menghabiskan banyak waktunya untuk merangkai buket bunga pesanan dari seseorang. Sejenak, Hime mengambil air minum yang semula ia telah sajikan di atas meja. Kini air minum tersebut sudah masuk ke tenggorokannya. Rasanya seperti dia hidup kembali. Sedari tadi, Hime memang selalu fokus pada pekerjaannya, tetapi ia berusaha mengistirahatkan tubuhnya dan mengisi tenaganya barang sekadar makan sepiring nasi untuk bisa mengganjal perutnya.

Sekarang ini dilihatnya jarum jam yang sudah menunjukkan jam setengah tiga, itu artinya janji tuk bertemu sang pujaan hatinya tidak lama lagi. Sebenarnya Hime tidak tahu pasti mereka harus bertemu kapan, tetapi yang pasti dia berusaha bersiap lebih dahulu sebelum waktunya tiba. Lekas dirinya masuk ke dalam kamarnya, Hime mulai mengganti gaun sederhana yang biasa dipakai olehnya, kini menjadi sebuah kemeja berwarna krem dan dengan lapisan sweater hitam yang menghiasinya, serta sebuah celana yang mungkin kelihatannya lebih cocok digunakan jika dia adalah seorang pria. Akan tetapi, karena Hime adalah seorang wanita, justru sedikit sulit untuk mengakalinya. Hime sempat mengakalinya dengan menggunakan ikat pinggang supaya lebih pas saat dipakai dan merapikan penampilannya rambutnya dengan menggunakan wig berwarna merah.

Saat Hime bersiap memasang wig merahnya, tiba-tiba lonceng pintu toko berbunyi—tanda bahwa seorang telah masuk ke toko bunganya. “Tunggu sebentar!” Hime berseru dari dalam toko, kemudian akhirnya ia memutuskan untuk keluar, melihat siapa orang yang datang pada saat itu juga.

Penampilannya memang belum sepenuhnya sempurna; masih ada bagian rambut aslinya yang belum tersembunyi dengan baik. Namun, rasa penasaran mengalahkan kehati-hatiannya, sebab dirinya malah terburu-buru melihat siapa yang datang, ia bahkan lupa memakai kacamata yang biasanya digunakan saat ia menyamar sebagai laki-laki. Sejujurnya ia agak takut kalau ternyata orang yang datang ke toko bunganya itu salah satu pelanggannya, ada terbesit perasaan tidak pantas menyamar, jika dirinya berada di depan pelanggan.

Namun, ternyata orang yang datang itu adalah orang yang sedari tadi ia tunggu. Matanya melebar kaget—ini benar-benar di luar perkiraan, apalagi figur indah itu membawa sebuah payung bersamanya. Hime berdiri terpaku di tempatnya, melihat kekasihnya itu telah berdiri di ambang pintu toko bunganya, sembari menutup payung yang dibawanya.

Sebuah senyuman terlukis di wajah pria bersurai pirang dengan mata sejernih langit cerah. Sepertinya, ia datang lebih awal dari waktu yang telah mereka sepakati. “Ah, apakah aku datang terlalu cepat?” tanyanya dengan suara lembut.

Suara sang terkasih membuat Hime tersadar dari keterkejutannya. Ia segera menggeleng pelan. “Tidak, aku hanya sedikit terkejut melihat Aoi-kun langsung kemari sambil membawa payung. Dirimu tidak nekat saat turun hujan tadi, ‘kan?” tanyanya penasaran.

Aoi terkekeh pelan, mengangkat sedikit payung yang masih tergenggam di tangannya. Dia kemudian membalas, “Tidak, tentu saja tidak. Aku membawa payung hanya untuk berjaga-jaga.”

Hime menghela napas lega, tetapi tetap menatapnya penuh selidik. “Syukurlah kalau begitu. Jangan sampai Aoi-kun kehujanan, nanti bisa masuk angin.”

Aoi mulai melukis senyuman di bibirnya. Hime memang sering kali memperhatikannya dengan baik, hal itu juga yang selalu membuat dirinya merasa bahagia. “Kau selalu mengkhawatirkanku, ya?” Sesungguhnya, perkataan sederhana seperti ini sudah sukses membuat rona merah muncul diwajah milik Hime.

“Sepertinya, Hime-chan masih belum siap, ya?” tanya Aoi, entah mengapa Hime malah merasa Aoi sedang mempermainkannya. Padahal, seharusnya Aoi bisa melihat dengan jelas kalau wig yang Hime sedang pakai saat ini belum terlihat rapi sama sekali.

Hime mulai menggerutu, “Aoi-kun, kelihatannya sengaja sekali bicara seperti itu.” Dia menunjukkan reaksi tidak suka, rasanya ia dia ingin memalingkan wajah sekarang juga. Akan tetapi, pada detik yang sama pula, Aoi ternyata sudah berada didekatnya. Dengan telaten, Aoi membenarkan wig yang sempat Hime pasang sebelumnya. Hime merasa kalau Aoi tampaknya terbiasa mengurus hal seperti ini. Beberapa menit diperlukan Aoi untuk membantu menyembunyikan rambut aslinya Hime. Sungguh, Hime pun awalnya tidak menduga, kalau Aoi tadi tiba-tiba saja membantu untuk mengatur rambut aslinya, supaya bersembunyi di balik wig berwarna merah itu.

Aoi kini mulai bertanya kepada Hime, “Hime-chan, apakah sekarang sudah lebih nyaman digunakan?” Hime mendongak sedikit melihat kepala Aoi, tadinya mata Hime menatap ke arah sisi kanan dan kiri bagian wignya, memastikan juga apakah rambutnya sudah tersimpan rapi dibalik wig miliknya itu.

“Sudah lebih baik daripada tadi, terima kasih Aoi-kun! Aku ke dalam sebentar untuk memasang lensa kontak dulu, ya.” Hime berterima kasih kepada Aoi, karena telah membantunya merapikan rambut, beserta wig yang digunakan

Aoi menganggukkan kepalanya pelan, kemudian mengatakan, “Kalau begitu aku duduk disini dan menunggumu, ya.” Hime sebenarnya tidak ingin membuat Aoi menunggu, tetapi Aoi sempat berkata bahwa tidak masalah baginya untuk menunggu sejenak, lagipula jamnya baru saja mengarah pada jam tiga kurang sepuluh menit.

Hime juga tidak memakan waktu yang lama untuk menggunakan lensa kontak, serta menggunakan kacamatanya yang biasa digunakan. Walaupun nanti ia akan merasa sedikit kelelahan saat melihat, tetapi tidak masalah, ia masih sanggup menahannya dalam beberapa jam kedepan.

“Aoi-kun, maaf membuatmu menunggu lama!” Hime mengatakan itu kepada Aoi dan meskipun tadinya memakan waktu berapa puluh menit, kencan yang mereka tunggu-tunggu hari ini bisa segera terlaksanakan.

Aoi memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal, sementara Hime menutup sebentar toko bunga miliknya—menandakan bahwa saat ini, toko bunga milik Hime tidak sedang menerima pelanggan terlebih dahulu.

Keduanya bersiap pergi ke suatu tempat yang sudah Aoi rencanakan, selain itu dia berpesan kepada Hime untuk berjaga-jaga membawa payung juga, takut terjadi hujan. Biarpun sekarang kondisinya masih terlihat bulir-bulir air berjatuhan tidak merata, langitnya sudah terlihat sedikit lebih terang. Hime juga menyetujui untuk membawa payung sendiri-sendiri, bukan karena dia tidak mau sepayung berdua sama Aoi. Akan tetapi, karena sekarang ini posisinya ia menyamar sebagai laki-laki, tidak mungkin baginya untuk sepayung berdua, meskipun tingginya tetap masih lebih tinggi Aoi.

Lonceng kembali berbunyi, saat keduanya keluar dari toko bunga dan membuka payung mereka masing-masing. Terlihat bahwa gerimisnya masih turun, walaupun hanya terdengar seperti suara rintik halus di atas payung mereka. Hal ini menciptakan suasana tenang dengan lantunan irama dari hujan yang tak kunjung reda, padahal langit sudah hampir seutuhnya kembali cerah.

Jalanan masih basah karena hujan sedari tadi pagi, serta aroma tanah setelah hujan mulai terasa berterbangan di udara. Mereka berjalan berdampingan dan mengobrol santai, tentang apa saja yang mereka lakukan hari ini, sampai tidak terasa bahwa sampailah mereka di sebuah kedai terdekat.

Mereka berdua memilih tempat duduk di dekat jendela, sembari menikmati waktu berdua dan melihat sisa hujan di luar. Sebuah menu telah disajikan kepada mereka, keduanya duduk bersebelahan sembari melihat menu itu.

“Hime-chan, mau mencoba kakigōri, tidak?” tanya Aoi kepada Hime.

Hime menatap ke arah Aoi, sedikit bertanya-tanya terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. “Kakigōri itu apa?” Sejujurnya, Hime baru saja tahu tentang hal itu.

“Dessert, kok. Katanya seperti es serut yang dibumbui sama sirup dan pemanis, ataupun susu kental manis,” jelas Aoi. Hanya saja, perkataan Aoi membuat tanda tanya besar sekaligus rasa penasaran Hime terlihat.

“Apakah ada yang merekomendasikan itu kepadamu, Aoi-kun?” Tatapan Hime penuh selidik. Jarang sekali bagi Hime mendengar rekomendasi makanan penutup dari Aoi.

Aoi tersenyum canggung lantas ia berkata, “Ah, seorang penggemar yang menyarankannya. Lalu, kebetulan juga, aku belum pernah coba. Jadi sekalian saja, aku mencobanya bersama dirimu.”

Awalnya Hime menaikan alisnya, tetapi kalimat terakhir dari Aoi membuat dia mendengkus. “Ya, baiklah. Aku akan mencobanya bersamamu,” balas Hime sambil tersenyum kecil. Tentu saja, Hime akan menerima hal itu dengan senang hati. Kapan lagi Aoi akan memberikan sebuah rekomendasi kepadanya.

Pesanan sudah dibuat, yang artinya mereka sekarang perlu menunggu. Kemudian, keduanya kembali membicarakan banyak hal yang semula tertunda saat mereka berada di jalan tadi. “Aoi-kun, aku mau cerita sesuatu! Jadi, sewaktu aku mengurus pesanan buket bunga di tokoku, ternyata ada orang yang memesan buket bunga untuk kelulusan pacarnya,” ujar Hime dengan mata berbinar-binar, tanda bahwa ia sangat antusias kala menceritakannya.

Sedari tadi Aoi fokus menatap Hime, seraya mendengarkan Hime. Hanya saja, atensi dari Aoi terpaku kepada Hime. Entah dia mendengarkan atau tidak, tetapi Aoi sempat berkata, “Andai saja saat kelulusan dulu, aku juga bisa mengirimkan Hime-chan sebuah buket bunga. Pasti kelihatannya sangat romantis juga, ‘kan?”

Bukan main, Hime merasa wajahnya memerah. Entah kenapa pembicaraannya malah berakhir begitu saja. Sampai akhirnya perhatian mereka teralihkan kepada kakigōri yang sebelumnya mereka pesan. “Aoi-kun, sekarang kita makan saja dulu. Pesanannya sudah datang,” ujar Hime yang terdengar sangat gugup. Dia benar-benar tidak bisa menetralkan detak jantungnya setelah mendengar perkataan Aoi seperti itu.

“Baiklah, selamat menikmati makanannya.”

Rasanya ada kepuasan tersendiri bagi Aoi, ketika dia bisa membahagiakan Hime walaupun beberapa menit saja. Senyuman itu tidak akan pernah luntur dari bibirnya. Mereka berdua memotret dessert yang telah tersaji di meja mereka. Anggaplah ini sebagai salah satu kenang-kenangan yang bisa mereka lakukan saat berada di luar asrama. Selang waktu beberapa puluh menit lamanya, aktivitas mereka telah selesai di kedai itu.

Awalnya Hime tidak berpikir, jika Aoi akan membawanya pergi ke suatu tempat. Kini di tempat di mana Hime dan Aoi berpijak terlihat sebuah tempat di mana pohon sakura ternyata masih menyisakan beberapa kelopaknya yang indah. Kelopak sakura yang tersisa di ranting-ranting basah seolah enggan jatuh, memilih tetap bertahan di tengah hujan musim ini yang terus turun mengguyur sejak pagi.

Hime menatap takjub ke arah beberapa pohon sakura—ternyata kelopak-kelopak indah itu masih bertahan. Penasaran, ia pun bertanya, “Sebentar, kenapa bunga sakuranya masih mekar? Padahal sekarang sudah memasuki musim panas.”

Aoi tersenyum kecil menatap ke arah Hime, “Hime-chan, tahu tentang samidare?” tanyanya balik..

Hime menoleh ke arah Aoi, dan mengangguk pelan. “Samidare itu hujan panjang di awal musim panas, bukan?” tanya Hime kepada Aoi. Ia mencoba memastikan jawabannya.

“Benar sekali.” Aoi mengangguk, kemudian ia melanjutkan, “Hujan yang berkepanjangan itu membawa efek yang tidak biasa pada pohon sakura, sehingga membuat kelopaknya tetap mekar lebih lama daripada seharusnya.”

Percakapan mereka lagi-lagi menghanyutkan suasana, tanpa terasa langit mulai cerah kembali, tetapi tetesan air masih jatuh dari daun dan kelopak sakura yang tersisa.

Keduanya menikmati momen itu bersama. Saat berdiri di bawah pohon sakura, Aoi sedikit iseng dan menggoyangkan dahan pohonnya, membuat air berjatuhan ke arah Hime. Refleks bergeser dari tempat tersebut, dengan ekspresi kesal ia menatap sang kekasih.

Hime mulai menggerutu, “Kenapa Aoi-kun hari ini benar-benar iseng, sih?!”

Aoi lekas dibuat tertawa, kebahagiaan sederhana yang dia inginkan seperti ini bersama sang terkasih. Ia kemudian menjawab sambil tersenyum, “Aku ‘kan nggak sengaja.”

Sekilas dilihatnya kelopak bunga sakura jatuh di atas rambut Hime. Saat itu juga, Aoi mengulurkan tangannya, tetapi bukannya langsung mengambil kelopak itu, dia malah membenarkan rambut palsu milik Hime. Serius, penyamaran seperti ini juga pun tidak akan berguna jika ia tetap saja berhadapan dengan Aoi. Perlakuan tersebut menjadikan suasana lebih lembut dan penuh perhatian dari kekasih. Keduanya saling menatap lekat masing-masing.

Mereka masih berdiri dan berdiam sejenak, seraya mendengar suara tetesan air dan angin yang berembus pelan, menikmati waktu yang terasa hanya milik mereka berdua. Setelah puas menikmati momen di bawah sakura, mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan langkah lebih lambat.

Kedua tangan mereka tetap saling bergandengan selama perjalanan pulang, tanpa banyak kata yang perlu diucapkan. Kejadian hari ini menjadi momen yang paling berkesan bagi keduanya—saling memahami satu sama lain melalui kenangan sederhana. Mereka membiarkan langkah tetap selaras, ditemani suara rintik hujan yang masih tersisa. Meski tanpa kata, genggaman tangan mereka sudah cukup untuk menyampaikan segalanya.

End.


Note! Yukihime Aoi belongs to @aeternamare for Writing/Merch Trade.