Pulang
Original Fiction.
Homecoming is the final destination.
“Sebelum mulai larut, cepatlah pulang!”
Suara menggema seolah kaset yang kapan saja bisa terputar jelas dalam kenangannya. Benar juga, ia merasa seolah semua ini terasa nyata.
Mengapa ia harus berada dalam kondisi menyebalkan seperti ini, huh?
Ucapan yang seperti nyata dapat ia dengar tadi, rupanya merupakan suara sang Ibu yang telah pulang menuju sang pencipta.
Malang sekali.
Bahkan, aneh sekali kalau tiada orang yang mencoba menghubunginya sampai sekarang. Seolah tidak ada yang peduli dengan keberadaan dia.
Tetapi, apalah keberadaan dia bagi dunia? Tidak ada. Tujuan hidup sudah tiada lagi. Semenjak kejadian itu, ia merasa tidak berdaya walaupun diri bisa membela diri.
Tidak mungkinkan ia mulai menyerahkan diri? Dia juga tak sedang terlibat dengan permasalahan, terkecuali ia benar saja berada dalam permasalahan.
Dia diculik oleh orang-orang. Tenaga yang sudah terkuras secara tidak sadar membuat diri lekas pingsan. Namun, itu semua bukanlah faktanya. Ia hanya berpura-pura menjalankan aktingnya.
Ya, benar juga. Semua hanyalah akting bagi dirinya. Kalau saja di lokasi tersebut ada kamera. Mungkin ia bisa merekam jelas betapa kerennya dirinya.
Oh, bukan-bukan. Dirinya yang dimaksud adalah seseorang. Temannya? Tidak, itu tidak mungkin.
Mana ada yang menginginkan teman seorang kutu buku, seperti dirinya, benar? Dengan kacamata yang memang bertengger diatas hidung mancung miliknya.
Semua hanyalah hiasan fisik semata. Lagi pula, kalau ia menggunakan kacamata, bagaimana bisa ia melakukan bela diri tanpa mengkhawatirkan apapun yang ia derita?
“Kau baik-baik saja?”
“Berisik sekali, padahal tiada orang yang meminta pertolonganmu.”
“Ada,” sosok tersebut menjawab.
Seolah memang ada raut wajahnya berubah. Si gadis—ah, tidak si lelaki. Sudah berapa tahun semenjak ia dianggap sebagai laki-laki, ya?
“Seseorang yang paling dekat dengan dirimu.”
“Siapa?”
“Seseorang yang akan membawamu pulang ke rumah.”
Tidak habis pikir dengan permainan kata itu, seraya membebaskan ia dari tali yang mengikat lengannya. Pada akhirnya ia merasa bebas, walaupun kondisi sekarang menjadi sangat aneh.
“Aku tak butuh. Untuk apa pulang ke rumah, kalau tidak ada siapa-siapa.”
Tangan orang itu, tanpa izin menarik wajahnya agar bisa menatap dia. Akan tetapi, tepisan kasar segera orang itu dapatkan.
“Ah, berdarah lagi ....” gumamnya dan bisa didengar dengan jelas. Ia mulai meliriknya lagi, sekilas saja. Tetapi, apa yang ia temukan?
Ia melihat pada wajah sosok itu, mendapati luka yang dirasa tidak asing baginya.
“Tanggung jawab.”
“Hah?”
“Tanggung jawab, aku bilang.”
“Tidak mau. Salah sendiri kau mendekatiku dan bahkan suka rela sekali kau membantuku bebas,” ucap si gadis. Ya, tampilannya sekarang sungguh mirip seperti gadis biasanya.
Bahkan, logat bicara pun sangat mendukung. “Itu adalah perintah dari seseorang, jadi kau juga tanggung jawabku. Adil, kan?”
“Aku tidak sudi, untuk apa.”
“Ah!” Reaksi yang berbeda muncul, lekas menjadi pertanyaan dalam benaknya. Rupanya ada seseorang disana. Sungguh, siapa laki-laki itu?
Gerakan ringan mengusap leher belakangnya. Entah mengapa air muka tak bisa menjelaskan semua, apakah ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya?
“Untuk mengajaknya pulang saja, kau begitu lambat. Benar-benar merasa sungkan terhadap pemilikmu, ya?” tanya seseorang yang baru saja tiba.
Suara itu betulan tidak asing, “Haris?”
“Oh? Kau mengingatku, terima kasih. Apakah kau mengingat dia, Orea?”
“Tidak. Untuk apa aku mengingat orang yang menyebalkan seperti dia,” sarkasnya.
Bahkan, ketika mengatakan hal pedas seperti itu, Haris—pemuda yang tiada undangan, tetapi datang tanpa kabar pula. Menatap seorang dia sebelahnya.
Posisinya berada di tengah-tengah, diantara mereka. “Aduh, pasti sakit sekali,” gumamnya tetapi hanya dapat didengar Orea, si gadis itu.
“Huh. Lalu, tadi kau bilang pemilikmu maksudnya apa itu?” Sejujurnya, ia sangat penasaran.
“Kita pulang ke rumah dahulu—”
“Tidak mau. Mana ada orang di rumahku, jadi untuk apa ditinggali.”
“Astaga, sudahlah. Ayo jalan,” sahutnya sembari menarik lengan milik Orea. Tentu saja ia mendapat balasan tepisan yang sama. Tetapi, hal tersebut tak membuatnya mengeluh.
Dilain halnya, sosok berada di belakang menyusulnya adalah orang yang menyelamatkannya tadi.
“Pemilikmu itu sedang hilang ingatan. Hanya saja, entah mengapa untuk beberapa orang dia bisa mengingatnya, kecuali dirimu.”
Dunia itu begitu pahit bagi dirinya, ya? Lekas tersadar, kalau bukan berkat sosok dia. Mana mungkin diri bisa dengan keren menunjukan keahlian di depan pemiliknya.
Pemikirannya telah menjelajah jauh. Hingga sengatan listrik kembali menjalar pada tubuhnya, lekas membuat pikirannya berfungsi lagi.
“Aduh! Kau ada masalah denganku, ya?!”
Tidak bisa menjawab. Keberaniannya telah dirampas, tidak seperti tadi. Penekanan kata pemilik tadi menyebabkan ia perlu mengetahui posisinya sebagaimana biasa.
“Orea cukup. Dia hanya tidak sengaja,” tegurnya.
“Kau sama saja.”
“Kau baik-baik saja kan, Very? Ah, maksudku Van.”
Kesadarannya seolah dirampas begitu saja. Ya, meskipun nyaris ambruk, tetapi pertahanannya tetap aman.
“Kalian baik-baik saja?” Cemas. Meskipun hanya sekadar ucapan saja. Rautnya seolah tidak memberikan ekspresi yang sama dengan perkataan. Sangatlah berbeda.
Ketika menatap Very atau Van, entah siapa nama aslinya itu. Membuat ia sedikit mengingat masa lalu. Terkadang, adanya kilas balik kejadian membuat ia merasa muak.
Namun, dalam bayang-bayang itu, dirinya melihat sosok yang tidak asing.
“Hei, apakah kau tidak memiliki rumah? Aku punya rumah, lho! Ayo ke rumahku~”
Gadis kecil itu adalah ia yang masih kecil. Cukup mirip, atau mungkin sangat mirip?
“Aku? Apakah aku diundang olehmu?”
“Ya! Aku mengundangmu,” sambutnya seraya tersenyum.
“Kalau begitu, dirimu adalah pemilikku. Siapa nama dirimu?” Dengan suara gemetar, tetapi sangat jelas bisa dibayangkan.
“Oh! Tentu saja~ pemilik rumah itu adalah keluargaku, artinya aku juga pemiliknya. Hm, namaku Orea Arelyiaa. Bagaimana dengan namamu?”
“Aku ... Siapa namaku, ya? Aku tidak tahu,” ucapnya kebingungan.
“Ehh? Kok bisa sampai lupa nama begitu, ah, ya sudah. Namamu Very saja ya? Bagus tidak?”
“Bagus sekali! Aku suka ....”
Gadis kecil itu merasa senang, saat mendengarnya.
Kilas balik mulai berpindah alur kisah.
“Pemilik!”
“Namaku Orea, bukan pemilik, Very.”
“Ah, tetap saja dirimu adalah pemilikku, apa aku salah?” Ia gugup.
Entah mengapa ia tertawa karena reaksinya telihat lucu, seperti sekarang.
Huh, apa?
Langsung saja, kenangan itu sirna bergantikan sosok yang terkapar di hadapannya. “Haris! Very kenapa?” Sungguh, ia sangat cemas.
“Aha, ingatanmu sudah pulih? Cepat juga, ya.” Senyuman yang semula tanpa arti jelas, ternyata inilah yang membedakan.
Alis yang mengerut, menyatakan diri bahwa merasa butuh jawaban pasti. “Apa katamu?”
“Yah, kau kan hilang ingatan sewaktu pulang hari itu.”
Penjelasan yang tidak masuk akal. Apa yang dikatakan Haris faktanya adalah benar. Hanya saja, cara dia mengungkapkan sesuatu membuat tanda tanya besar muncul dalam kepala.
Tatapan Orea beralih kepada Very atau Van tadi, dia jujur membutuhkan kejelasan dari apa yang menimpa saat ini. Mulanya, ia berpikir hari ini adalah masa di mana ia jatuh pingsan.
Tunggu sebentar, dia? Jatuh pingsan? Itu tidak benar. Tetapi, perasaannya merasa seolah tidak asing dengan puncak kejadian kala ini.
“Very! Very!”
Ia mengalihkan pandangannya, tidak lagi menatap sosok tadi. Sekarang ia menatap sosok yang ia sebut sebagai Very, namun si Haris memanggilnya sebagai Van.
Panggilan yang sudah tidak asing itu, membuat netra sang lelaki terbuka. Ya, ialah Very atau Van. Entah apapun itu namanya, hanya satu yang pasti bahwa ia adalah laki-laki. Hanya saja, kalau ditanya mengapa namanya malah mirip perempuan, alasannya terdapat pada dia sendiri.
Dulunya dia mirip sekali dengan perempuan, tiada alasan yang masuk akal, padahal jujur saja kalau mengingat rekayasa rekaman memori itu tetaplah mirip suaranya dengan perempuan lain.
“Ugh—”
“Very, maafkan aku!”
Baru saja terbangun. Kejadian ini memakan waktu lama, bahkan langit kian menjadi tengah malam sudah. Mengingat tadinya memang sudah cukup larut. Akan tetapi, menjelang subuh tiba mereka masih berada disana.
Umpama melepaskan rindu, walau tak mungkin bisa sama sekali. Terungkap pula satu hal yang jelas dari balik ucapan mereka.
Perkataan pada awal mengisahkan pada sebuah fakta si gadis yang akrab disapa sebagai Orea, tumbuh menjadi seseorang yang dianggap seperti laki-laki.
Padahal, rupanya yang jelita sudah terpampang sangat jelas disana. Atau, mungkin saja mereka tak bisa membedakan jenis kelamin seseorang, ya?
Tetapi, para orang yang menangkapnya itu mengetahui sebuah fakta. Entah siapa dibalik dalang penculikan ini. Ia terlalu muak apabila kembali ke neraka kehidupan.
Ya, benar saja. Tiada lagi makna seperti kehidupan selayaknya surga, di dalam rumah tercinta bersama sang Ibu.
Kemampuan bela diri apanya. Ia bahkan tak bisa melindungi sang Ibu. Tujuan hidupnya sirna. Meskipun, ia melupakan seseorang yang menganggap kehidupannya sangatlah berarti.
Orang tersebut adalah Very. Namanya bukanlah nama asli, melainkan nama pemberian di masa lalu, ketika pertemuan pertama mereka.
Yang rupanya, dibalik pemberian nama itu sudah tersemat bahwa mereka menjadi pemilik dan barang. Diibaratkan saja sebagai barang yang memiliki pemiliknya, seperti itulah mereka.
Omong-omong tentang Haris, fakta terkuak setelah Very mengungkapkan suatu kebohongan yang telah ia sembunyikan dari pemiliknya.
Rupanya, Haris adalah seseorang yang menyuruh segerombolan penculik, untuk menculik Orea. Begitu kejamnya, tetapi sekejam itulah dirinya.
Yang semula tidak memiliki hubungan apapun, namun dengan mudah bisa dikenal oleh Orea, berkat suatu hal. Orea yang berada dalam pengawasan Very pun ikut berada diambang maut.
Reaksi dan semua tingkah lakunya hanyalah halusinasi biasa. Ia tidak berbohong pada Orea, bahwa dia menjadikan Very sebagai kepunyaannya milik ia.
Buktinya adalah nama Van yang diucapkan. Padahal, biasa seorang 'barang' tidak mungkin mendapatkan dua orang pemilik, kecuali diberikan ataupun dilepaskan.
Ingat, Orea hanyalah sekadar hilang ingatan. Ia tidak pernah mengigau sekalipun, kalau ia akan membuang Very. Dia adalah orang yang sangat menyayangi Very, setelah sang Ibu tercintanya.
Tanpa kehendak dari Orea sendiri, Haris melakukan sesuatu yang diluar dugaan. Seperti mengajarkan Very hal-hal aneh, yang bertentangan dengan apa yang ia ajarkan padanya.
Hingga, Orea menyatakan, “Very atau Van. Entah apa namamu sekarang. Dirimu ingin bersama dengan siapa?” tanyanya.
Detak jantungnya yang seolah menghilang, Orea tak bisa membendung perasaan tidak sukanya. Sudah cukup ia selalu muak terus-menerus. Meski begitu, tetap saja ada orang yang membuat dia harus demikian. Haris adalah contohnya.
“Mm ... Maaf. Aku ... Memilih pemilikku sekarang.”
Napas yang tercekat. Suara yang berbeda. Very atau Van, bukanlah orang yang dikenali dengan mudah sekarang.
“Ah, maksudmu itu Haris ya? Baiklah. Aku akan menarik kata 'Very' sebagai namamu sebelumnya.”
“Ya, terima kasih dan maafkan diriku.”
Peluh keringat telah membasahi wajahnya. Tanda semua pelepasan berakhir begitu saja. Dunia, kau sangat kejam pada sang gadis mungil ini.
Meski ia bisa bela diri, hatinya bukanlah hal yang bisa dengan mudah diobati. Lika-liku perjalanan kelam, menjadikan ia sedikit tergerak.
Tetapi, ketika dihadapkan oleh fakta tak memuaskannya. Hancurlah ia. Kekuasaannya, kebahagiaannya, semua yang ada padanya seolah menjadi debu tanpa tahu pemiliknya.
“Semoga kau selalu bahagia. Aku akan pulang ke tempat tujuan akhirku.”
Sebuah kisah yang dibacakan mengoyak hati sang pembaca, meskipun dengan alur maju-mundur, tiada pasti yang menjelaskan bacaan.
“Kakak! Kenapa memberikan cerita yang sedih begini, sih?!”
“Lagian, siapa suruh pulang terlambat terus. Emangnya kamu mau begitu?”
“Enggak mau, lah!”
Sebuah buku, karangan pendek yang diciptakan sebelum adiknya tiba ataupun kembali pulang ke rumah mereka, berjudulkan Pulang.
Sebab, ia tahu satu hal, si adik menyukai semua tulisannya dengan akhir yang manis. Padahal, ia adalah orang yang gemar sekali menulis yang pahit.
Balasan yang serupa, benar?
End.