Pengagum Rahasia.
Original Fiction.
Batch 8; Day 4 of #MariMenulis 2022.
Sosok yang selalu spesial dimata figur cantik, dengan netra merah muda itu. Hanya sepanjang diatas bahu, surai cokelat itu secara sembunyi-sembunyi memperhatikan sosok yang sedikit jauh dihadapan.
Setidaknya, ia tak mau dianggap sebagai penguntit, meskipun berjenis kelamin sama. Tetap saja, tak mungkin. Apalagi sosok yang selalu menyinari matanya itu merupakan seorang kakak kelasnya dahulu.
Saat ini, ia kembali dipertemukan kembali di sebuah kafe. Hingga seseorang menyentuh bahunya, seraya menegur dirinya, “Akiyama-san.”
Ia tersentak bukan main. Rupanya, seorang teman. Segera diri menghela napas panjang, ketika menatap sosok yang menegurnya. “Ada apa?” tanyanya, berusaha menetralkan diri dari keterkejutannya itu.
“Pfft, masih sama seperti dulu? Kenapa sih, anak manisku ini tak mau langsung mendekati sosok yang dikaguminya?” Ia melakukan cubitan ringan pada wajah sang gadis menjadi topik pembicaraan kali ini.
Meskipun setingkat dengan sosok yang diidolakan. Ia kerap merasa iri, tetapi diabaikannya hal itu karena sedikit mendapatkan informasi mengenai kakak kelasnya.
Mulai merasakan sakit pada wajah, segera menangkap tangan seseorang yang mencubit gemas dirinya. “Ihh, Senpai gitu, ya!”
Tampak menggemaskan kala gadis itu—Akiyama Kazumi—mulai menampilkan ekspresi memajukan bibir. “Haha, harus berani dong~ Soalnya tidak seperti dirimu saja.”
“Huh?”
“Ah, Izumi!”
“Akh, Senpai kenapa dipanggil, sih!”
Seseorang yang dipanggil mulai menoleh kesana-kemari, ketika menyadari bahwa telah dipanggil. Sementara yang dipanggil sebagai senpai itu, hanya terkekeh pelan saja. “Disini! Aku disini.”
Sedikit bersyukur bahwa kondisi kafe tak begitu ramai, jadi tak butuh suara yang agak keras selayaknya teriak. Iya, hanya biasa saja.
Lantas, saat menemukannya ia bergegas menghampiri. “Astaga, kau sudah terlambat dua puluh menit. Oh, halo? Kenalanmu?” Sadar akan intonasi nadanya tadi, langsung mengubah gaya bicaranya agak sedikit sopan.
“Eh~ masa aku disalahin terus, sih? Hm, aku bicaranya bagaimana ya~”
“Senpai diam, deh.”
“Aha—”
“Um, sebelumnya maaf menyela. Tetapi, apakah Senpai mengingat diriku? Kita dulunya pernah satu sekolahan.” Kazumi gugup. Ia tak bisa memikirkan apapun lagi selain kalimat yang sekarang ia katakan.
“Ah, aku ingat.” Setelah beberapa menit, tiada yang membuka suara. “Kalau tidak salah kita pernah bertemu di Perpustakaan Sekolah, ya?” tanya wanita tersebut.
Hanya berdua, kalau ditanya satunya ke mana ia pamit untuk pergi lagi ke kamar kecil. Berakhir diomeli oleh perempuan yang merupakan temannya juga, Hasegawa Izumi.
Agak kaget, rupanya masih diingat. “Betul, Senpai! Aku pengagum rahasia senpai!”
“Eh? Pengagum Rahasia?”
“AAA, ITU—”
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit tidak percaya,” tanggapnya. “Soalnya tak bisa jadi rahasia lagi, kan? Karena sudah kamu ungkapkan.”
“Uh, iya ....”