Melampaui Masa.
Original Fiction. Day 13 of #OCstober2022.
As you would normally expect.
“Siapa?” tanyanya pelan.
“Seseorang yang membawamu kemari.”
Gadis itu melamun memikirkannya. Hari itu, seolah bukan kali pertama pertemuan mereka. Hanyut dalam pemikiran pribadi, ia tampak memikirkan kejadian yang belum lama.
Ya, walaupun kejadian itu asalnya dari mimpi. Ia masih bisa merasakan jari-jemari hangat mengusap air matanya, entah berpikir itu nyata ataupun mungkin sekadar rekayasa.
Pemikirannya sibuk demi memikirkan itu saja. Dia melupakan fakta, kalau ia seharusnya malu dengan situasi itu. Hanya tidak tahu mengapa, penampilan dia terlihat samar-samar.
Percayalah, Hizafa Rein benar-benar sedang ada dalam kondisi yang waras. Namun, sekarang ia menepuk-nepuk wajahnya menyadarkan diri kembali kehidupan nyata.
Kenangan masa lalunya tak begitu tragis, namun sering dikatakan ironis. Ya, anggap saja semuanya baik-baik saja. Rein berkutat dengan buku yang dibawanya. Ia mendapati benda tersebut meja di mana, ia berbaring.
Tetapi, tiada seseorang pun di sana. Kalau dikatakan mendengar nama, tidak juga. Lagi pula, Rein bukanlah orang yang mudah mengingat wajah. Iya bisa dengan mudah melupakannya.
Cukup parah ketimbang Hizamara Fauraza; teman dekatnya, kalau tidak salah. Ia tidak begitu yakin, apakah orang berada seperti Fauraza itu menganggapnya sebagai teman atau bukan? Dia membuang jauh pemikiran demikian.
“Hizafa Rein, hei? Perhatikan jalanmu.”
Sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Kebiasaan melamun yang sangat buruk! Mereka mulai bertatapan, namun sekarang ia tidak percaya dengan apa yang menjadi atensi iris mata miliknya.
Netra yang sama, gaya bicara yang sama, penampilan yang sama. Tetapi satu yang berbeda, figur itu tampak lebih tua. Bersama seseorang yang entah asing atau mungkin tidak? Ia tak ingin mengingatnya, jikalau bisa.
Tidak ingin mengingatnya, kenapa? Ia seketika membatin. Ada apa dengan kata hatinya sekarang, yang tak sesuai dengan pernyataan jiwa raga diri.
“Lihat, tiada yang berbeda dari dulu hingga sekarang. Terkadang dirimu masih suka ceroboh, Rein.”
“Huh, apa maksudnya?” Merasa tidak terima, Rein mulai menegur. Ia menepis kenyataan kalau sekarang mungkin saja ia sudah bersikap tidak sopan dengan yang lebih tua.
Kurva membentuk pola pada wajah, tetapi kenapa semua itu menjadi tawa terumbar? Ah, jangan katakan kalau mereka hanya akan menertawakan Rein sekarang.
“Apa yang lucu—”
Hidung miliknya dijepit oleh tangan pemuda disamping wanita yang mungkin bisa dikatakan mirip dengannya.
“Kamu memang lucu, ya. Setelah aku coba bangunkan, tidak bangun-bangun. Namun, malah berkeliling di masa depan.“
Menyentak tangan pemuda itu. Ia merasa geram terhadapnya. “Sakit tahu,” jeda Rein sejenak sebelum akhirnya berucap kembali, “Lalu, apa maksudnya itu? Aku itu sudah bangun, buktinya aku sudah disini.”
“Shika, kau ini. Jangan berbicara seperti itu!”
“Wah, apakah seorang Rein bisa malu?”
“Ugh, kau itu, ya!?”
“Fufu~ jangan seperti ini ya, di masa depan, kalau bisa.“
Rein mengernyitkan alis, ia benar-benar tak menerima jawabannya. Katakanlah bawa diri sedikit kurang peka, tapi memang pada dasarnya demikianlah ia.
Perutnya terasa sakit sekarang, sungguh tak mendukung kondisi. Akan tetapi saat itu jugalah, ia menyadari sesuatu, sewaktu ia membuka matanya.
Sosok yang sama, gaya bicara yang sama, dengan iris mata yang sama, hadir di hadapannya.
“Aduh, yang benar saja. Rein sungguh melewati masa itu, ya?”
“Ya.”
“Huft, kalau begitu bagaimana selanjutnya? Ingin berubah atau tetap berjalan sesuai dengan apa yang terjadi sekarang? Oh, jangan lupa pikirkan risikonya juga, ya?”
Rein penasaran, lantas ia mendekat figur indah tersebut. Dengan posisi yang tidak lebih dari beberapa senti itu, Rein mulai berujar sesuatu.
“Kau itu ...,”
“Hm, aku kenapa?”
“Tsukihiko Yoshikazu, 'kan? Sekaligus, orang dalam mimpi itu?”
Tiada balasan. Namun, senyuman tersirat pada ekspresi wajah laki-laki itu. Beberapa detik setelahnya, Rein menyadari bahwa sangat tidak pantas berada dalam kondisi seperti itu.
“Benar, kok. Tiada jawaban yang salah. Oh, lalu yang tadi bersamaku itu, sosokmu ketika dewasa nanti, lho. Cantik, ya?”
Usai mengatakan itu, bantal ditujukan oleh Rein kepada laki-laki yang berada tidak jauh di hadapannya. Tentu saja tidak kena, karena beruntung laki-laki tersebut mendapatkan bantalnya sebelum mengenai wajah indah milik dia.
“Kau benar-benar menyebalkan, seperti dulu!“
“Oya? Kupikir Rein lupa. Tidak kusangka, teman masa kecilku ingat itu. Padahal dulu sering sekali melupakannya~”
“Baik, aku akan lupakan, sesuai keinginanmu.”
Tangan langsung menyentuh pergelangan milik dia. “Jangan begitu, aku tidak mau lagi dilupakan. Rasanya ada bagian diriku yang menghilang, tau.”
“Hah, sekitar sepuluh tahun saja. Tidak lebih,” gumamnya.
Kembali usil, tangan milik Yoshikazu menarik kedua pipi Rein. Ia merasa gemas dengannya. “Itu sangat lama, Rein-ku sayang.”
Rein segera menyingkirkan tangan milik Yoshikazu. “Apa sayang-sayang? Sayangi dulu keluargamu sana, terutama Shiyu-san,” sinisnya.
“Aduh, kejamnya. Padahal Rein tahu, kalau hubunganku dengan Nee-san tidak baik.”
“Oh, iya. Maaf lupa.”
Hingga sebuah pintu menyatakan seseorang gadis yang mirip dengannya, “Rein!” Dia berteriak, kemudian menghambur ke pelukan sosok yang ia sebut namanya.
Yoshikazu? Dia sudah menyingkir dari tempat itu. Beranggapan, sesi keluarga tak boleh dihalangi oleh dia yang tiada sangkut pautnya.
“Kak, jangan erat-erat dong.”
“Ah, maaf kelepasan. Soalnya, Rein menghilang dari pandanganku, huh. Lalu, dia yang tadi bersamamu itu ....”