Kencan.

Original Fiction.

Batch 8; Day 3 of #MariMenulis 2022.


Seraya tersenyum senang, ia menikmati aktivitasnya bersama sosok yang paling ia sayangi selain keluarga.

Figur yang telah beberapa tahun menemaninya sewaktu kecil, kini telah lebih dewasa. Meskipun begitu, selisih usia mereka hanya tiga tahun, tidak lebih.

Mungkin saja efek pertumbuhan laki-laki dan perempuan itu berbeda, ya? Ah, abaikan saja.

Ketika netra birunya menatap figur sang pemuda itu, lekas diri melukis senyum lebar. Sementara yang diberikan senyuman itu, sedikit tersentak.

Berpikir ada sesuatu yang menyenangkan, tetapi apa? Segera menggelengkan kepala, menyatakan bahwa diri tak boleh bersikap seperti itu.

“Nona, kenapa menatap saya seperti itu?” tegurnya. Jujur saja, sedikit ini ia merasa risih.

Kalau diingat kembali ini adalah sebuah kencan, pemuda itu langsung menolak. Dari balik fakta, alasan sang Nona memanglah demikian. Tetapi, ia ingin bersama si pemuda sekarang.

Menolak fakta, jadilah hanya bisa dikatakan sekedar jalan-jalan biasa. Yang menjadikan spesial hanyalah sang Nona, selalu mendekati dan mengulas senyum kepada pelayannya.

“Fauraza.”

Menyadari kalimatnya terdapat kesalahan pengucapan. Ia sedikit mengulas senyum pahit, namun kemudian membenarkannya, “Fauraza-sama, kenapa anda menatap saya seperti itu?”

“Tidak apa-apa~ aku hanya ingin melihat saja!”

“Eh? Anda sudah melihat saya beberapa kali sedari tadi, itu dikatakan hanya ingin?” tanya si pelayan dengan raut yang heran.

Sedikit terkekeh pelan, saat mendapati sang majikan kebingungan juga. “Aaaa! Lupakan, ayo beli sesuatu,” sentaknya cepat dengan tangan langsung mengait pergelangan tangan milik pelayannya itu. Reinou.

Itukah yang dinamakan sesuatu seperti kencan? Bertemu disatu waktu dengan alasan janji, tetapi sedikit berbeda alias meminta dengan sedikit perintah.

Tidak buruk, bukan?