Kebahagiaan Kini

Kazuhiko Arata × Hizamara Fauraza & Kaitosawa Shuu. #FaureOCs; #AraFau.

When the time comes, the memory will be perfect. written by @dreamereein (Faure).

#OriFictArchives. #FaureStory; Travel Chain Universe.


Dalam hitungan hari, sepupu jauhnya akan bertambah usia. Tak mengira, sosok yang dahulunya keras kepala, akan menjadi wanita dewasa. Ya, tidak bisa dibilang dewasa juga, karena belum mencapai usia dua puluh tahun.

Benar, remaja perempuan itu belum beranjak menuju usia dua puluh tahun, melainkan dibawahnya. Akan tetapi, sudah beberapa kali dia menemukan hal-hal unik yang menyapa penglihatan miliknya. Tidak disangka, bahwa ia akan benar-benar melakukan saran dari tunangannya itu.

Rasanya seperti komedi, tetapi begitulah kepribadian sang sepupu jauh. “Kasihan juga, tunangannya.” Pemuda bersurai merah muda yang tampak nakal ini, tidak sepenuhnya dikatakan nakal. Karena kepribadiannya sebatas ramah dan begitulah dia yang terbuka dengan banyak orang.

Dia mendapatkan berita itu dari sepupu jauhnya, lebih tepatnya si kakak dari remaja perempuan yang sebentar lagi akan bertambah usianya. Agak tidak terduga, menurutnya. Meskipun itu baru saja terjadi dalam sepuluh hari atau mungkin lebih?

Bisa-bisanya, dia lebih memproritaskan hubungan dengan pelayan seperti itu. Sejujurnya, dia sendiri tak berhak mengatur kehidupan sepupu jauhnya. Akan tetapi, miris rasanya ketika dia membayangkan posisi tunangannya yang harus mengutarakan saran untuk membantu menyiapkan kejutan tersebut.

Hanya saja, ketika kejutan itu tertuju kepada dirinya. Apakah sepupunya itu pernah mengatakan tanggal berapa dia akan bertambah usia? Lagi pula, remaja perempuan satu ini terkadang suka melupakan hal yang paling penting. Dia tidak akan ambil pusing terhadap semua ini.

“Menurutmu, haruskah kita melibatkan tunangannya itu?” tanya sosok pemuda bersurai hijau kebiru-biruan.

“Itu tidak menarik, kau tahu? Bisa saja, Fauraza langsung menyuruh dirinya, untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada dia. Sebagai seorang kakak, pasti ada yang kau ketahui setidaknya beberapa perilaku dari adikmu itu.”

Helaan napas berat terdengar. Pemuda bersurai merah muda mengukir senyuman. “Biarkan sepasang kekasih itu, memainkan permainan mereka sendiri.” Ya, pemuda ini akan menikmatinya. Seperti orang yang berada dibalik layar dan mengamati jalan ceritanya yang ini berlangsung. Sebab, sudah ada rencana yang terbesit dipikirannya dan pemuda di hadapannya mengetahui hal tersebut.

“Sepertinya, dirimu sudah merencanakan sesuatu.” Lantas, hal ini dibenarkan oleh pemuda bersurai merah muda itu dengan senyuman khasnya.

“Tentu saja, meskipun tidak begitu menarik.”

“Semua yang dirimu katakan adalah kebohongan. Lagi pula, tidak mungkin kau bisa tersenyum lebar seperti itu, jika sesuatu yang sedang direncanakan justru tidak menarik.”

Mengusap wajahnya, tidak menduganya. Kebiasaan khasnya semenjak mereka berada dalam satu kelas yang sama, menjadi teman tanpa mengetahui latar belakang. Kalau dipikir, mereka baru mengetahui jika mereka terhubung sebagai sepupu jauh itu sewaktu SMP. Jujur saja agak menyedihkan.

“Ketebak sekali, ya.” Pemuda di hadapannya mulai memutar bola mata malas. Ia melirik ke arah lain, sampai akhirnya mendapati sosok yang mereka bicarakan sebelumnya.

Saat ini, mereka berada dalam lingkup di mana mereka berkuliah. Akan tetapi, karena jurusan mereka berbeda, susah untuk bisa bertemu. Jika bertemu pun, sewaktu makan siang saja selebihnya kalau sedang mempunyai kegiatan di luar kampus.

Sosok yang menjadi bincangan hangat diantara mereka, membuat pria bersurai merah muda mulai melirik ke arah mana pemuda di hadapannya ini menatap. “Ah, panjang umur juga tunangannya Fauraza. Baru saja dibicarakan ternyata bisa muncul juga anaknya. Seingatku, dia adalah teman Shika. Tapi, mengapa penampilannya sangat mirip dengan dirinya?” Pemuda itu bertanya-tanya.

“Jika kau sepenasaran itu terhadapnya, langsung tanyakan saja kepada orangnya,” celetuk pemuda bersurai hijau kebiru-biruan itu.

“Aduh, itu agak merepotkan. Tapi, sebelumnya aku pernah bertanya mengenai hal itu. Dia menjawab, kalau dia ingin saja,” gerutunya membalas pertanyaan dia sendiri.

“Kalian berdua telah mengenal satu sama lain? Lalu, mengapa kau malah memanggilnya tunangan Fauraza terus-menerus?” tanya pemuda itu lagi, yang sedari tadi berusaha mendapatkan jawaban dari perkataannya.

“Ah mengenai hal itu, bagaimana ya aku menjelaskannya. Jadi, dia adalah salah satu anggota dari klub Karate. Kau tahu sendiri, aku dulu pernah mengikuti klub Karate, meskipun tidak bertahan lama karena terlalu sibuk mengurus trainee waktu itu,” jelasnya menjeda sejenak.

“Hm, berarti kau tidak terlalu mengenali dirinya atau malah sebaliknya?” Pemuda ini menyimpulkan demikian.

“Jawabannya ada di opsi pertama, ialah alasanku memanggil dirinya seperti itu.” Figur di hadapannya menggelengkan kepala, tidak sanggup mengatakan alasan apapun lagi. Terlalu banyak informasi yang mereka lakukan, meskipun tidak terlalu berguna.

“Kukira kau mengenalnya.”

Menatap tidak percaya, lebih tepatnya terkejut. Pada akhirnya ia tetap membalas, “Astaga. Bahkan, saat aku ramah dan terbuka kepada banyak orang sekalipun, belum tentu anaknya akan menerima orang baru di dalam lingkungan pertemanan yang mereka miliki.” Pemuda itu mengatakannya sembari mengingatkan kepada diri yang mana, terkadang terlalu banyak berbaur dengan banyak orang sampai tidak bisa membedakan mana yang menerima ataupun tidak nyaman terhadap dirinya.

“Siapa yang tahu—”

“Halo, Kaitosawa-senpai juga Hizamara-senpai. Sudah lama tidak berjumpa dengan kalian,” sapa seseorang membuat perhatian mereka teralihkan. Terlihat seorang laki-laki dengan rambut dan mata yang senada warnanya. Setelah diperhatikan dengan lekat sekalipun, sesuai apa yang dikatakan oleh salah satu orang yang bercakap panjang lebar itu.

“Halo, untuk dirimu.”

“Ah, lama tidak berjumpa denganmu juga, Arata. Tidak perlu seformal itu denganku,” tegur pemuda bersurai hijau kebiru-biruan. Ia menolak panggilan formal yang ditujukan kepadanya, apabila seseorang ini telah menjadi bagian penting dalam hidup salah satu saudaranya. Rasanya, ia seperti membatasi diri dengan sosok yang mana tahu dikemudian hari bisa menjalin suatu hubungan yang lebih besar dibandingkan saat ini, bukan?

“Baiklah kalau begitu,” balas lelaki tersebut. Mengangguk pelan, menyetujui hal yang sama, supaya tidak terlalu formal diawal pertemuan dan perkenalan mereka. Hanya saja, sekarang fokus pemuda yang diajak oleh seorang Arata berbicara teralihkan kepada pemilik netra kuning. “Omong-omong, Shuu. Kau tidak berniat untuk menipuku, 'kan?” tanyanya dengan nada yang agak berbeda.

“Sudah aku katakan, itulah kenyataannya.”

Pembahasan mereka sedikit berbeda. Salahnya juga yang tiba-tiba menyapa, tanpa memberikan masukan untuk berbicara barang kali hanya berapa kalimat sederhana. “Oh iya, Arata. Aku ingin bertanya tentang Fauraza. Bagaimana dirinya yang sekarang? Apakah dia masih merepotkanmu sewaktu awal pertunangan kalian?” Kini giliran dia lagi yang mengutarakan pertanyaan kepada sosok yang sedari tadi mereka bicarakan.

Hizamara Ryutatsu, selaku kakak tertua dari Hizamara Fauraza, yang sekarang tunangannya ini sedang dilontarkan banyak pertanyaan. Tidak begitu banyak, tetapi cukup membuat dirinya harus menjawab sejujurnya.

“Dia tidak seperti itu, kok. Hanya saja, akhir-akhir ini dia sering memikirkan terlalu banyak entah apa saja itu, dan itu membuatnya melupakan beberapa hal penting.” Kazuhiko Arata, itulah namanya. Sering disebutkan sebagai Arata karena namanya lebih mudah diucapkan kebanyakan orang. Meskipun, mereka yang tidak akrab saja memanggilnya dengan namanya langsung. Tetapi, dia tidak begitu mempermasalahkan panggilannya.

Dia menunjukkan reaksi seperti orang yang sedang berpikir sekarang. Sementara untuk kedua orang yang dirinya sapa tadi saling menatap satu sama lain. Sudah tidak diragukan lagi. Ryutatsu tidak sanggup untuk membalas jawaban dari Arata. Sehingga, pemuda di sampingnya menggantikan. “Mohon dimaklumi perilakunya yang seperti itu, ya. Oh, satu hal lagi. Semisal Fauraza melakukan hal yang menyimpang atau nekat begitu, tolong beritahu kami atau tegur saja dirinya,” celetuk lelaki itu kepada Arata.

“Shuu memang benar, pasti akan ada kalanya dia melakukan sesuatu dengan nekat. Jika menurutmu itu adalah hal yang terbaik, kau bisa mendukungnya. Namun, apabila itu berbanding terbalik, sebagai kakaknya aku ingin meminta tolong kepadamu agar lebih banyak membimbing dia.” Ryutatsu menyempurnakan apa yang telah dikatakan oleh Kaitosawa Shuu baru saja.

“Eh? Apa itu tidak masalah?” Sejujurnya, untuk melakukan hal seperti itu saja, Arata sangat ragu. Alhasil, ia jarang sekali memberikan peringatan kepada sang tunangan.

“Sesekali ditegur pun tidak masalah.” Arata mengangguk tanda menyetujuinya.


Telah lama waktu dimakan oleh hari. Seolah tidak seperti biasanya, entah mengapa Arata merasa menjadi akan ada sesuatu yang mungkin bisa terjadi kepadanya dengan segera. Sewaktu pertemuan itu, Arata diberikan suatu informasi tentang hari spesial sang tunangan. Sejujurnya, dia sendiri agak terkejut.

Karena, Fauraza sebagai tunangannya saja tidak pernah memberitahukan hal itu kepada dirinya. Sementara Fauraza menyuruh agar dirinya mengatakan kapan dia bertambah usia. Rasanya sangat tidak adil. Sejenak, Arata terpikirkan sesuatu. Apakah mungkin jika seseorang yang sedang berulang tahun, malah memberikan kejutan kepada pasangannya? Sedikit tidak masuk akal, tetapi mungkin saja bisa terjadi, bukan?

Lagi pula, kalau dia bertanya kepada Fauraza mengenai hari spesialnya. Apakah dia bisa memberikan sesuatu yang berkesan sebagai hadiah kepadanya? Untuk seorang Hizamara Fauraza yang kehidupannya terjamin, berbanding terbalik dengan dirinya. Bahkan, sebab Fauraza jugalah keduanya menjadi tunangan. Walau perasaan gundahnya diawal mendapatkan kabar tercipta dengan jelas, serta perkataan beruntun dari Fauraza langsung membuat diri kewalahan.

Arata terlalu banyak melamun sedari tadi, hingga dirinya tidak sadar bahwa saat ini sudah ada figur indah tunangannya yang meraih tangannya yang bebas, tiada pegangan apapun. “Kak Arata!” panggil sosok perempuan yang sangat cantik, dan ternyata inilah wujud dari si tuan putri, ialah tunangannya.

“Kak Arata sedang memikirkan apa? Kelihatannya serius sekali,” tutur Hizamara Fauraza, itulah nama yang sungguh indah dari tunangannya sekarang ini.

“Bukan hal penting, kok.”

Menghela napas panjang. Seperti sudah menjadi kebiasaan bagi dirinya yang merasa tidak kuasa untuk mengatakan beberapa kata sekalipun. “Lalu, dengan Fauraza sendiri? Akhir-akhir ini, aku perhatikan kalau dirimu terlalu memaksakan diri. Tidak baik untuk kesehatan, tahu.” Arata mengungkapkan perhatian dari perilaku yang disedang lakukan sekarang. Ia mengelus pelan surai ungu bercampur putih itu, sembari tersenyum.

“Ah, oh?” Fauraza tersentak. Meskipun ini bukanlah pertama kali untuk dia yang disentuh pada bagian rambut dan kepalanya, entah mengapa perasaannya lebih cepat timbul sehingga membuat detak jantungnya bekerja lebih cepat. Langsung ia membalas, “Supaya aku bisa lebih luang diwaktu libur, makanya aku fokuskan kegiatan pada harinya. Maafkan aku, Kak Arata.”

“Berarti, pada waktu libur aku akan pastikan bahwa dirimu benar-benar beristirahat, seperti apa yang dirimu inginkan.”

Fauraza menggelengkan kepalanya pelan. “Bukan untuk menikmati waktu libur dengan beristirahat. Aku ingin menghabiskan waktu bersama Kak Arata, karena sudah lama aku tidak jalan-jalan bersama Kak Arata, hehe.” Hal ini membuat Arata mendadak bingung. Ia mengira bahwa Fauraza akan istirahat, ternyata ia meluangkan waktu hanya untuk berjalan berdua bersama dirinya. Ah, tunggu, hanya berdua?

Padahal, hal yang paling Arata ketahui ialah Fauraza yang selalu bersama dengan pelayannya. Menurut Arata sendiri, pelayannya yang sudah lama mengurusnya lebih mengetahui apa saja yang Fauraza inginkan dan apa yang dirinya sukai. Tidak seperti dirinya yang baru memiliki hubungan dengan Fauraza yang bahkan belum genap satu tahun.

“Kira-kira, hari ini Kak Arata ada waktu luang?” tanya Fauraza, mengalihkan atensi dari Arata yang kembali terdiam dalam pemikirannya.

“Hari ini?” Arata sejenak bergumam, ia merogoh ponsel pintar miliknya. Menatap lekat sesuatu di ponselnya. “Aku punya waktu luang,” jawab Arata kemudian. Arata telah menyadari, karena sempat melihat sekilas tanggal pada hari ini. Ya, semoga saja dia tidak terlambat, bukan?

2 Oktober. Itu adalah hari di mana Fauraza bertambah usia, dan pada hari itulah Fauraza yang mengajaknya. Ah, kalau dipikir seharusnya orang yang memberikan kejutan yang akan mengajaknya. Tetapi, ini malah orang yang sedang berulang tahun. Tidakkah ini terasa aneh?

“Asik! Aku punya tempat yang bagus dan pemandangannya cantik, nanti kita kesana bersama Kak Shuu, oke?” ujar Fauraza.

Tunggu, apa? Haruskah ada satu orang yang perlu berada disekitar Fauraza, disaat dia sedang bersama dengan dirinya? Arata tidak tahu mengapa perasaannya sering kali berubah seperti ini. Hanya saja, ia seperti berada dalam perputaran yang hanya mereka saja yang mengetahui kejadian itu. Lagi pula, Arata hanya mengetahui hubungan keduanya sebagai sepupu jauh. Dan, untuk selain itu sepertinya tidak ada yang bisa ia ketahui.

“Oh, Kaitosawa-senpai? Boleh saja. Kira-kira berangkatnya pukul berapa? Aku perlu izin dahulu sama keluargaku, takutnya malah mereka yang melarangku.” Arata menjadi kikuk dan merasa tidak enak. Padahal, remaja zaman sekarang sering kali bepergian keluar untuk menikmati hari sebagai masa muda. Bahkan, jika mereka sudah dewasa pasti mereka akan lebih memilih beristirahat dan tidak terlalu banyak beraktivitas di luar. Sehingga, hanya mendapati aktivitas di mana jika saja ada yang mengajak.

Fauraza terdiam sebentar. Ternyata, ia melupakan sesuatu yang terpenting. Mengingat dirinya yang telah lama tinggal berpisah dengan orang tua, membuatnya bebas untuk bepergian tanpa izin. Paling-paling meminta izin dengan Ryutatsu saja ataupun meminta izin kepada Shuu. Namun, entah mengapa ketika dirinya mendengarkan ucapan dari Arata, ia teringat kenangan lama di mana dirinya tinggal bersama kedua orang tuanya. Sebenarnya, Ryutatsu juga tinggal sendiri seperti dirinya. Akan tetapi, karena ditemani oleh pelayan, dia tidak akan sendiri di dalam rumah sebesar itu.

“Semoga diizinkan, ya. Oh, iya perjalanannya dimulai siang ini karena mungkin agak memakan waktu karena kita juga menggunakan kendaraan mobil. Kak Arata ada riwayat mabuk perjalanan tidak?” tanya Fauraza lagi.

“Ah, aku tidak ada riwayat mabuk perjalanan, kok. Lagi pula waktu pertama kali dijemput dengan pelayanmu itu, untuk menghadiri acara keluarga kita. Dia mengantar kami sekeluarga menggunakan mobil, bukan?” balas Arata yang mana dia juga hanyut dalam memori masa lalu.

“Oh, iya! Aku lupa, hehe.” Fauraza mengatakan hal itu, tanpa mengetahuinya kalau Arata tetap menatap dirinya sembari menampilkan senyuman tipis pada wajah.


Yaaho~

Sapaan telah terdengar. Kini waktunya bagi mereka untuk bisa berjalan bersama, meskipun cuacanya cerah. Tetapi beruntung saja karena mereka menggunakan mobil yang mana atap di dalamnya tertutup. Meskipun ada juga yang bisa terbuka, syukur saja ini lebih baik untuk melindungi mereka.

“Ah, halo Kaitosawa-senpai!” Arata balik menyapa dirinya juga.

“Maaf, kalau aku nimbrung kencan kalian, ya~ Kakaknya Fauraza itu memang ada-ada saja,” gerutu pemuda bersurai merah muda itu, yang entah kenapa ia merasa kesal karena bisa terseret dalam permainan yang mana itu dari dirinya sendiri.

Sesungguhnya, Shuu hanya berdalih dengan alasan seperti itu. Karena faktanya, ia telah merencanakan hal itu dengan Ryutatsu untuk membuat hubungan kedua tunangan ini tidak akan lebih jauh dari kata akrab. Ya, semoga saja pada hari ulang tahunnya Fauraza ini, mereka bisa lebih akrab dan membuka diri. Lalu, bagaimana dengan Shuu? Dia hanya akan mengamati dan kemudian memberikan laporan kepada Ryutatsu setelahnya.

Ryutatsu melakukan itu untuk membatasi pergerakan Fauraza yang akhir-akhir ini, terlalu banyak beraktivitas di luar lingkungan kampus. Sehingga, tidak ada yang bisa mengawasi dirinya. Selain itu, meskipun Arata merupakan tunangannya, mereka bahkan belum seakrab itu untuk sekadar bergandengan tangan. Hanya, Fauraza yang selalu berusaha memulai untuk bisa mendekati dirinya.

“Tidak masalah, Senpai.

“Baiklah, kalau begitu aku punya ide untukmu.”

Suatu ide dibisikkan kepadanya, melupakan Fauraza yang sedang berbincang dengan Keluarga Kazuhiko akhirnya telah kembali. Fauraza sendiri tidak akan mengganggu percakapan mereka yang mungkin penting, sampai harus berbisik seperti itu. Membuatnya menegur karena mungkin, takut teralu lama berleha-leha. Tidak seperti Fauraza yang biasanya.

“Kak Shuu, Kak Arata! Ayo, kita berangkat, aku sudah selesai.”

Shuu yang telah menyadari keberadaan Fauraza hanya mendiamkan diri tadi, dengan ucapan yang sedang dia rencanakan untuk para kekasih yang berada dalam bimbingannya ini. Ia kembali menoleh ke arah Fauraza yang ternyata telah berada di dekat mobil yang Shuu bawa. “Seperti yang aku katakan, begitu saja kejutannya. Selebihnya, tergantung apa yang akan kalian lakukan. Ah, sebentar dirimu tidak memiliki alergi terhadap serbuk sari dalam bunga, kan? Fauraza memang tidak ada, tapi takutnya malah dirimu yang mengalaminya.”

Arata menggeleng pelan, “Baiklah, aku akan berusaha. Lalu, untuk pertanyaan itu, aku tidak memiliki alergi terhadap bunga, Senpai.” Ia mengatakan demikian, karena memang dia hampir tidak diketahui memiliki riwayat ataupun alergi terhadap sesuatu.

“Baguslah, ayo kita menyusul.” Arata dan Shuu, menyusul ke dalam mobil yang agak jauh dari halaman rumah Arata. Sekalian bisa putar balik, kalau kata Fauraza. Alhasil, mereka menempuh menuju mobil dengan berjalan kaki.

“Kalian berdua sudah siap?” Shuu yang akan menyetir mobil tersebut. Dengan penghuninya adalah Arata dan Fauraza yang duduk dibelakang. Kalau melihatnya, mungkin orang-orang akan beranggapan kalau dirinya adalah sopir. Akan tetapi, saat ini hanya itu peran baginya.

Mereka berdua menikmati perjalanan yang agak jauh, yang mana tidak seperti bisanya. Dalam perjalanan itu, Arata mengingat kembali apa saja yang Shuu katakan tadi mengenai kejutan yang ternyata sepenuhnya direncanakan oleh dirinya. Tetapi, berdalih bahwa semua itu karena dia yang disuruh oleh Ryutatsu untuk menjaga Fauraza.

“Tujuan kita kali ini adalah taman bunga. Tempat itu sebenarnya adalah tempat favorit dari orang tuaku, yang entah mengapa bisa menurun kepadaku juga. Lalu, di sana biasanya akan ada orang yang memberikan karangan bunga. Kalau bisa, dapatkan saja karangan bunga Aster Kuning dan peran untukmu menggunakan karangan itu ke atas kepala Fauraza.”

“Nanti aku akan memberikannya kepadamu, kalau memang aku bisa mendapatkannya. Untuk artinya, dirimu bisa mencari di situs online, bukan? Ya, lakukan saja itu selama dalam perjalanan. Aku yakin, itu bisa mengekspresikan kepribadiannya,” ujar Shuu disaat berbisik dengan dirinya. Hingga saat itulah, Fauraza hadir dan menegur mereka berdua untuk segera berangkat.

Kembali ke masa sekarang, sesuai apa yang Shuu katakan tadi. Ia mulai sibuk mencari suatu makna dari bunga yang dikatakan oleh dirinya. Meskipun Fauraza agak penasaran dengan apa yang Arata lakukan, ia berusaha tidak mengusik Arata secara berlebihan. Sudah cukup dirinya yang di masa lalu terlalu memaksakan kehendaknya.

Masa lalu yang mana membuatnya bisa berubah, berkat omongan dari Ryutatsu. Ia telah mengutarakan permintaan maaf kepada Arata, tentang apa yang dia lakukan supaya mereka bisa bertunangan.

Meskipun begitu, itulah pertama kalinya Fauraza menggunakan panggilan 'Kak' di depan nama Arata, yang bahkan sebelum itu dirinya memanggil tanpa sufiks tersebut.

Arata yang telah mengetahui apa makna dari balik bunga yang dikatakan oleh Shuu. Ia mengukir senyum tipis. Ternyata, makna dari suatu bunga bisa begitu banyak yang sesuai. Ia melirik Fauraza yang entah kenapa, ekspresinya tidak seperti mereka yang diawal. Seperti memancarkan ekspresi sedih, membuat Arata menepuk pelan bahu dari Fauraza seraya memanggil, “Fauraza.”

Fauraza sendiri tidak begitu mengamati suasana saat ini. Sehingga, ia bisa terkejut seperti itu. “Ah, maafkan aku. Ada apa, Kak Arata?” tanya Fauraza berusaha mengekspresikan dirinya dengan baik, seperti apa yang dia lakukan sebelum mereka berangkat bersama.

Sementara Shuu, sesuai apa yang dia lakukan bersikap seolah-olah dia hanya sebagai sopir untuk sepasang kekasih ini, dan akan melaporkan kejadian ini kepada sang Kakak dari Fauraza itu sendiri. “Fauraza terlihat seperti ingin menangis, apa terjadi sesuatu?” tanya Arata berusaha mengutarakannya dengan nada pelan.

Fauraza benar-benar dibuat terkejut bukan main. Ternyata, Arata menyadari itu semua. “Ah, tidak kok. Aku tidak ada masalah,” sahut Fauraza yang sepertinya menyembunyikan masa lalu.

“Anak itu berbohong, kau tahu?”

“Eh?”

“Kak Shuu!”

“Baiklah, abaikan saja itu tadi. Kebetulan kita akan segera sampai,” ucap Shuu yang pada akhirnya mengalihkan pembicaraan mereka, yang mana takut berujung kisah yang memilukan di hari spesialnya Fauraza yang entah menyadarinya atau tidak, bahwa dirinya akan menjadi korban dari rencananya Shuu.

Hingga, pemandangan itu tampak sangat luas. Dari luarnya saja sudah membuat mereka semua terpukau. “Wow, Kak Shuu pemandangannya indah sekali!” seru Fauraza yang mana mungkin terlalu bersemangat.

Pada akhirnya, mereka telah sampai dan memutuskan untuk turun terlebih dahulu. Sementra untuk Shuu, akan menyusul karena dua mencari tempat untuk memarkirkan mobil yang dia gunakan selama mentantar mereka berdua.

Angin berembus menyejukan tubuh. Padahal, langin masih cerah, belum menuju senja. Akan tetapi, suasananya mendukung sekali. Bahkan, lokasi yang mereka pijaki ini terdiri dari banyaknya hamparan bunga, sampai akhirnya mereka agak takut kalau tidak sengaja menginjak bunganya.

Sembari menunggu Shuu, Fauraza bersama Arata memutuskan untuk membelikan tiket masuk untuk mereka semua. Kemudian, Shuu memasuki tempat itu dan mulai menjelajahi lokasi menyegarkan pemandangan mata bersama-sama.

Shuu menyarankan agar mereka berdua berpisah. Di mana Arata dan Fauraza akan bersenang-senang bersama, sementara dirinya akan mengambil beberapa foto untuk dibagikan kepada Fauraza. Ya, Fauraza sudah berpesan kepada dirinya. Mengingat Shuu juga mahir dalam mengambil gambar yang bagus, sehingga Fauraza mempercayainya.

Shuu sendiri mengabadikan gambar di mana Fauraza bisa bersenang-senang dengan Arata. Menurutnya, untuk apalagi dirinya harus mengawasi mereka berdua, lagu pula keduanya tidak akan bersikap aneh-aneh. Asalkan mereka bisa menjaga diri masing-masing saja, sudah lebih baik.

Saat itu juga, Shuu mendapati seorang yang memang membagikan karangan bunga. Walau sebenarnya ada juga yang berkenan mengajarkan mereka untuk merangkai karangan bunga. Ya, tidak butuh waktu lama, ia mendapatkan tiga rangkaian karangan bunga itu. Kalau ditanya untuk siapa saja, tentu saja untuk mereka bertiga. Lalu, siapa yang akan memakaikannya? Itu akan dia serahkan kepada Fauraza.

“Seharusnya tadi aku meminta ID Line milik dia.” Shuu bergumam pelan dan dia merutukinya. Namun, saat itu dia melihat Arata ternyata berhadapan dengan keberadaan dia saat itu, sementara Fauraza membelakangi dirinya. Ia mulai mendekati mereka. Tetapi tidak terlalu dekat, sampai akhirnya Arata melihat sosok itu dan memutuskan untuk pergi sejenak menemui Shuu.

“Fauraza, sepertinya Kaitosawa-senpai sedang memanggilku. Aku pergi sebentar dan nanti aku akan kembali, tidak apa-apa kan?” tanya Arata yang mana membuat dahi Fauraza berkerut.

“Tunggu, memanggil? Kok, aku tidak kedengaran. Ah, tunggu. Kak Arata tetap memanggilnya seperti itu, berarti belum memiliki ID Line milik Kak Shuu, ya?” Arata terdiam, takut apa yang direncanakan oleh Shuu dibalik semua ini akan gagal.

Sehingga, Arata menganggukinya pelan. “Tadi, dia melambaikan tangan kepadaku, siapa tahu dirinya ingin memanggilku, hanya saja takut tidak nyaman untuk mengganggu kegiatan yang sedang Fauraza lakukan dalam menikmati keindahan bunga yang ada.” Fauraza tidak percaya bahwa Arata akan menjelaskan hal ini, supaya Fauraza tidak salah paham. Padahal, ia sudah mengetahui gerak-gerik Shuu yang semenjak awal sudah berbeda menurut dirinya.

“Lalu, untuk ID Line, itu memang benar. Kami tidak begitu akrab, hingga saling menukar ID Line, jadinya itu merumitkan untuk Kaitosawa-senpai yang akan memanggil diriku, begitu?” Arata memberikan reaksi dirinya seperti orang yang sedang menyimpulkan sesuatu.

Semua yang Arata tampilkan, sungguh membuat Fauraza mengundang tawanya. “Baiklah, silakan bertemu dengan Kak Shuu. Tetapi, jangan lupa kembali, ya!” Fauraza memutuskan untuk kembali kepada aktivitasnya. Ia memang gemar mengamati banyaknya bunga yang tumbuh di daerah itu.


Di samping itu, Arata telah menyusul ke arah Shuu. Yang mana mungkin telah menimbulkan pemikiran aneh, sehingga Shuu hanya mengatakan sedikit, “Pasangkan ini kepada dirinya dan katakan apa yang ingin dirimu katakan untuknya.” Shuu telah menyerahkan satu rangkaian karangan bunga Aster Kuning. Menurut Arata, itu tampak indah. Dan bahkan, mungkin lebih mirip warnanya dengan netra milik Shuu saat itu. Sama-sama berwarna kuning.

Arata kembali mendekati Fauraza yang sibuk dengan kegiatannya, ia pun memakaikan karangan bunga tersebut. Hal itu sukses membuat dirinya terpaku karena kaget. Fauraza tidak menduga, bahwa seorang Arata bisa melakukan seperti ini. Tetapi, dengan cepat Fauraza menyimpulkan bisa saja semua ini karena Shuu. Mengingat sedari tadi Arata berada dekat dengan Shuu. Ia tidak terlalu mengekang dirinya.

“Selamat ulang tahun, Fauraza.”

Fauraza memang terkejut, tetapi karena memikirkan apa yang telah terjadi saat itupun, ia langsung mengumbar tawa dengan kepalanya telah ada rangkaian bunga yang dimaksud oleh Shuu saat tadi.

“Ah, ternyata Kak Arata sudah mengetahuinya. Terima kasih banyak!” umbarnya senang.

“Terima kasih juga untukmu. Apabila aku pikirkan, kebahagiaan kini telah banyak yang dirimu sumbangkan kepadaku. Tunggu, itu terlalu menyedihkan. Bagaimana jika dengan dirimu yang sudah memberikan banyak kebahagiaan kepadaku sekarang? Meskipun, aku sendiri tidak pernah mengetahui hari spesialmu sebelum akhirnya diberitahukan. Sepertinya, agak tidak adil untukku,” jelasnya Arata panjang lebar.

Fauraza benar-benar bahagia, ia tidak menduga bahwa seorang Arata bisa berkata demikian. Meskipun pada bagian akhirnya cukup menyindir bagi Fauraza yang mana menyembunyikan hari ulang tahunnya, bahkan kepada tunangannya sendiri. Tentu saja, hal itu sangat tidak adil bagi Arata.

“Tentu saja, jika aku berbahagia maka Kak Arata harus bahagia juga! Lalu, tentang itu, hehe. Maafkan aku, tetapi Kak Arata mengetahui ulang tahunku dari siapa?” Hal ini sedikit membuat Fauraza penasaran, ia menebak bahwa itu dikatakan oleh Shuu, akan tetapi tebakan hanyalah tebakan. Bisa saja dirinya yang salah.

“Ah, itu diberitahukan oleh kakakmu. Belum lama ini, mungkin lusa kemarin?” Arata sedang mengungkit kisah di mana pertemuan mereka waktu itu.

“Apa dirimu sudah diberitahukan oleh Fauraza mengenai ulang tahunnya, yang tidak lama lagi?” Saat itu bukanlah Ryutatsu yang mengatakan, melainkan Shuu yang mengucapkannya.

Ketika dirinya mulai menggelengkan kepala, sahutan datang dari Ryutatsu, “Lusa nanti, tanggal 2 Oktober itu adalah hari ulang tahunnya.”

Rasanya saat itu Arata benar-benar tidak tahu harus bersikap apa dengan waktu yang hanya dua hari sampai akhirnya, tibalah saat ini berkat adanya bantuan dari Shuu yang telah merencanakan sesuatu dari awal.

“Oh, begitu.”

“Halo, kalian. Oh, sepertinya sudah selesai? Omong-omong ini untuk dirimu Fauraza, kau bebas memberikannya kepada siapapun. Atau mungkin, kau akan memberikannya kepada Arata,” ujar Shuu setengah bercanda. Ia memang sangat menyarankan agar Fauraza memberikan sesuatu yang dia serahkan kepadanya untuk Arata, agar mereka terlihat seperti couple.

“Kak Shuu, kebiasaan! Terima kasih untuk semua ini, dan lalu siapa yang memasangkan karangan bunga itu diatas kepala Kak Shuu?” Fauraza menyadari suatu perbedaan yang mana, Shuu juga telah menggunakan karangan bunga diatas kepalanya. Akan tetapi, siapa orang yang memakaikan karangan bunga itu kepada dirinya?

Shuu sebenarnya ingin tertawa ketika mengingatnya, “Ada seseorang yang memasangkannya kepadaku, dikala aku mengamati kalian dari jauh. Sepertinya dia menganggap aku sedang patah hati, mungkin?” guraunya bercanda, meskipun fakta bahwa dia mengamati dan ada orang yang memasangkan karangan bunga itu adalah benar.

“Woah, tidak kusangka. Ternyata, ada orang baik yang memasangkannya untuk Kak Shuu.” Fauraza juga ikutan bercanda dengan nada yang mungkin menurut Arata itu adalah sindiran.

Arata memang tidak mengerti hubungan mereka berdua, sampai tidak masalah dengan sindir-menyindir seperti itu. Alangkah baiknya, ketika Arata juga menyadari fakta bahwa Fauraza kini mmasangkan karangan bunga yang diberikan oleh Shuu diatas kepalanya. Posisi mereka saat ini sedang duduk di antara rangkaian bunga yang bertaburan diatas rumput yang halus ini.

“Baiklah, terima kasih untuk semua ini, khususnya kepada kalian berdua. Senang sekali rasanya, aku jadi terlibat dalam permainan kalian sekarang. Lalu, untuk Kak Shuu sendiri, syukur saja ada orang yang mau memasangkannya. Jadi, aku kan hanya memasangkan untuk Kak Arata.”

Fauraza mengatakan hal itu, membuat Arata tertegun. Ia tidak menyangka terdapat hal positif dari balik kejadian ini. Meskipun interaksi yang keduanya jalin terlihat lebih dekat daripada keluarganya sendiri, membuatnya merasakan sedih.

“Sudah cukup menyindirku, ya.”

Keduanya mengutarakan tawa yang tidak bisa terbendung, bahkan hal itu menularkan tawa kepada seorang Kazuhiko Arata. Jujur saja, inilah kebahagiaan yang ingin dirinya peroleh semenjak bertunangan dengan Fauraza.

Terima kasih untukmu, yang sudah memberikan kebahagiaan seperti ini kepadaku. Meskipun, pada dasarnya dirimulah yang berulang tahun dan bukan diriku. Untuk semua dukungan ataupun saran, dirimu berikan kepadaku itu sangat berkesan bagiku. Tidak cukup sampai sana, karena terlalu banyak usaha yang dirimu lakukan, hanya demi seorang seperti aku.

Terima kasih telah ingin menerimaku sebagai tunanganmu.

End.