Hanya Mengingatkan
Hizamara Fauraza, Hizafa Rein. #FaureOCs.
When someone starts reminding and wants to give you help. written by @dreamereein (Faure).
#OriFictArchives. #FaureStory; Travel Chain Universe.
Olahraga pada jam ketiga adalah sesuatu yang menyebalkan bagi sebagian orang, mengingat matahari sudah mulai tampak bersinar lebih terang. Sungguh menyulitkan untuk mereka yang tak terbiasa dengan gerakan beragam, bahkan sekadar pemanasan saja sudah menyerah.
Hal itu terjadi kepada seorang Hizafa Rein, seorang gadis dengan rambut yang sengaja tergerai bebas, padahal sedang masuk jam pembelajaran olahraga. Syukur-syukur, sekolah itu membebaskan siswanya untuk menggerai rambutnya. Meskipun demikian, karena bisa saja ada alasan lainnya, selain tidak terbiasa mengikat rambut mereka.
Dia duduk ditepi lapangan dalam keadaan sedang berteduh di bawah sebuah pohon, di sana memang ada tersedia sebuah kursi yang terbuat dari batu. Lokasi itu berada di dekat taman sekolah, sehingga murid lainnya bisa menikmati suasana rindang yang berasal dari pepohonan yang ditanam pada area tersebut.
Rein sering kali dinyatakan absen dalam kelas olaharaga karena kelihatan tidak begitu mampu mengikuti kelas, karena alasannya selalu saja berkaitan dengan pencernaannya. Teman-teman satu kelasnya pun terkadang merasa sudah tak bisa berkomentar lebih, terhadap penyataan yang diucapkannya.
Dia sering menyatakan bahwa perutnya terasa sakit sepert diremas-remas, bahkan dalam pembelajaran olahraga sekalipun, entah kenapa itu seperti sudah diperkirakan. Tetapi, tugas berkaitan dengan pengetahuan tidak tahu mengapa Rein malah mampu mengikutinya.
“Rein masih terasa sakit perut? Mau ke UKS saja, tidak? Coba istirahat di sana dulu sekalian minta obatnya,” tanya seseorang yang menurut Rein tidak asing. Ketika Rein menatap sosok tersebut, ternyata adalah teman yang mungkin saja dekat dengannya. Hizamara Fauraza.
“Aku baik-baik saja, Fauraza. Tidak perlu ke UKS, sakit perutnya seperti biasa kok. Mungkin karena telat tibanya,” gumamnya menolak tawaran tersebut.
“Baiklah, kalau dirimu merasa begitu. Aku khawatir soalnya, setiap pelajaran olahraga kamu absen duduk di sini terus, kecuali pelajaran sewaktu di kelas. Kalau misalnya terasa kurang enak badan di beberapa pelajaran, izin saja ke gurunya.”
Rein hanya mengangguki perkataan dari Fauraza, kemudian ia menyanggupi diri untuk segera berdiri dan di bantu oleh Fauraza ketika akan bangun. “Aku bantu ya~” Lagi-lagi, Rein menolaknya. Ia tidak berniat untuk merepotkan Fauraza meskipun sebentar, mengingat sakit perut yang dialaminya tidak seberapa.
“Aku bisa berdiri sendiri, kok. Hanya sakit perut, bukan sedang terluka.”
Kalau menurut Fauraza suasana di sekitar mereka seperti biasanya, berbanding terbalik dengan Rein. Seolah semuanya menatap ke arah mereka, padahal baru saja memasuki kelas. Iya, Rein dan Fauraza satu kelas.
Meskipun Rein lebih tua satu tahun dari Fauraza, semuanya dikarenakan sewaktu dulu ia perlu menjalani perawatan di rumah sakit, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk mengikuti pelajaran sebagai mestinya. Hal itu terjadi, ketika tahun di mana ia mulai kembali ke mana mereka tinggal kembali bersama.
“Mentang-mentang bisa bersekolah di sini, kelakuannya seperti orang hebat saja.”
Suara-suara yang mulai mengusik ketenangannya kembali. Semula, Rein tidak begitu acuh dengan percakapan mereka. Saat itu, mereka baru saja kembali dari ruang ganti pakaian. Benar juga, jaraknya memang sedikit jauh, supaya siswanya terbiasa untuk melangkahkan kaki ke sana kemari.
Rein itu termasuk orang yang mungkin beruntung, karena selain tidak ada terlibat kasus perundungan secara fisik seperti dalam film-film. Meskipun saat ini memang sedang dikata-katai tetapi bisa saja bukan dirinya, bukan? Walau Rein termasuk salah seorang yang pemikir lebih, terkadang ia mengacuhkannya kalau sudah terlalu pusing.
“Ruhi-kun!” sapa Fauraza. Itu bukanlah Rein, karena dia bukanlah seorang yang bisa dengan mudah menjalin relasi dengan banyak orang. Energi sosialnya dengan cepat terkuras segera, “Oh, ternyata Anda.”
“Aduh, masih sama seperti dulu bahasanya. Padahal sudah aku bilang yang nyaman untuk dirimu saja,” balas Fauraza.
“Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa. Bahkan, di rumah juga seperti itu dengan Otou-sama.” Sosok itu menyunggingkan lekukan tipis pada mulutnya. Iris matanya menatap ke arah figur yang berada di samping Fauraza.
“Oh, kalian baru bertemu hari ini, 'kan? Aku perkenalkan dia adalah Hizafa Rein, namanya mirip dengan panggilanku yang lain, bukan? Untuk laki-laki di depanmu ini, namanya Soranaga Haruhi. Teman satu klub Drama sekaligus teman satu kelas sewaktu dulu,” jelas Fauraza.
Keduanya membunggkuk selayaknya bagaimana mereka berkenalan, “Saya Soranaga Haruhi, mohon bantuannya Hizafa-sama.” Rein yang mendapati respons dari lelaki di hadapannya sedikit kikuk. “Ah ... Hizafa Rein, mohon bantuannya juga, Haruhi-san.”
Lelaki dengan surai dwiwarna sedikit kebingungan, mengingat mereka belum lama berkenalan, akan tetapi Rein telah menyebutkan nama kecilnya, dan itu terdengar sedikit berbeda. “Ah, Ruhi-kun! Rein dulu pernah tinggal di Indonesia juga, jadi kebiasaan memanggil nama seperti itu.”
“Ah, maaf ... Aku kebiasaan, Soranaga-san.” Sementara Haruhi seperti memahaminya, tidak asing dengan maksud itu. Ia segera menggelengkan kepala kecil. “Tidak mengapa, Hizafa-sama. Mungkin karena belum terbiasa, semoga kedepannya bisa mengikuti kebiasaan orang Jepang, agar tidak terjadi kesalahpahaman.”
Fauraza mengangguki pernyataan yang diberikan oleh Haruhi, diikuti oleh Rein yang hanya biss tersenyum canggung. Hingga, terdengar suara bel yang berbunyi menandakan tibalah jam pelajaran selanjutnya. “Oh, sudah waktunya masuk kelas. Sampai jumpa, Ruhi-kun!”
“Sampai jumpa lagi, Soranaga-san.“
“Fauraza,” ucap Rein merasa ragu dengan ucapannya sekarang. Padahal sebentar lagi guru akan memasuki ruangan kelas mereka, tetapi dia malah menghentikan langkah kakinya. “Sepertinya aku akan izin ke UKS saja, nanti sewaktu istirshat.”
“Oh, bisa-bisa! Mau sekalian aku antarkan ke sana? Nanti aku akan mampir ke kelasnya Kakakmu juga, biar tahu keberadaan adik tersayangnya ini.”
“Tidak apa-apa, aku bisa sendiri. Cuma numpang istirahat di sana saja, kok.” Fauraza diam sebentar, setelah itu menyetujuinya. Menyadari bahwa tidak banyak kata yang berbeda disebutkan oleh Rein, berarti diri sedang ingin tidak terlalu banyak dicampuri urusannya.
“Aku kasih satu syarat, Rein harus ingat untuk meminum obat yang diberikan, oke? Atau, nanti aku kasih tahu dia saja, kalau dirimu ini sedang tidak sehat—”
“Fauraza, aku akan mengingatnya. Tenang saja, ya?” Rein berusaha menyakinkan figur dengan helaian rambut ungu tergerai bersamaan warna putih yang menghiasinya di hadapan dia ini.
“Awas saja kalau lupa! Soalnya, aku hanya bisa mengingatkan.”
Pembelajaran setelah olahraga berlangsung lancar, meskipun ia sedang berada dalam kondisi menahan mulasnya perut yang sedang dia alami sampai sekarang. Sulit rasanya untuk bisa berkonsentrasi dengan keadaan sakit yang melibatkan saluran pencernaan.
“Permisi, apa ada orang?” Rein mulai mengetuk pintunya perlahan. Biasa UKS sekolah miliknya ini sering tertutup, supaya barang-barang tidak keluar dari tempat asalnya. Sejauh ini tidak ada yang bersikap untuk nekat mengambil barang-barang seperti itu.
“Masuklah.” Rein membuka sekilas pintunya, mendapati seorang wanita paruh baya di sana sedang fokus dengan obat-obatan yang sepertinya akan di letak di dalam rak obat.
“Hizafa-san, apakah keluhannya sama seperti kemarin lusa?” ucap wanita tersebut. Karena memang, Rein sudah mengunjungi tempat itu kemarin lusa, sehingga bisa saja langsung dikenali oleh pengurus UKS sekolahnya.
“Iya ....”
“Kalau begitu, Hizafa-san minum obat yang ini saja, silakan. Setelah itu, lekas istirahat di atas kasur saja. Kalau perlu oleskan minyak kayu putih juga,” balas si wanita itu.
“Baik, terima kasih, Sensei.“
“Oh, iya. Sudah bicara kepada wali kelasmu atau kelas yang sedang diajari oleh beliau? Dirimu tidak ingin tidak naik kelas, bukan?” Rein menggangguk pelan, pernyataan yang ditemukan olehnya sehari ini benarlah semua.
“Sensei hanya mengingkatkan, selebihnya terserah kepadamu. Omong-omong, sensei akan tinggalkan kamu sebentar. Tolong jaga diri baik-baik, ya.”
Sampai akhirnya, sosok guru yang menjaga UKS pergi meninggalkan Rein sendiri di tempat tersebut. Entah mengapa, pandangannya lekas memburam ketika ia berhasil menyelesaikan minum obatnya. Berpikir, selemah itukah dirinya? Apakah hal yang dia alami selama itu sekadar kelelahan semata?
“Astaga, Rein!” Sosok yang baru saja tiba itu terkejut dengan keberadaan Rein yang terbaring pingsan di lantai UKS. Iya, Rein belum berada di tempat tidur yang ada di UKS. Segera ia memindahkan Rein ke atas kasur di sana.
“Syukur dirinya mengatakan hal ini kepadaku, kalau tidak dirimu akan terbaring di lantai yang dingin, sampai pengurus UKS datang membangunkan dirimu.” Senyum yang tampak tidak jadi terulas, rasanya benar-benar mengandung kesedihan. Sudah sekian lama mereka tidak bertemu, akan tetapi ketika ia berusaha mencari waktu yang tepat, dunia sedang mengujinya.
“Padahal, ini adalah pertemuan kita pertama kalinya. Sepertinya, dunia sekarang sedang menguji kesabaranku untuk menunggumu tiba.” Larut dalam kesedihan, ia benar-benar mengingat masa lalunya. “Kuharap penyakitmu segera membaik, dan lekaslah sadar, Hizafa Rein.”
To Be Continued.