Berpisah.
Hidaka Hokuto × Hizafa Rein. #FaureYume; #HokuRein.
Let's go back to the past, where we never knew each other. written by @dreamereein (Faure).
#FanfictionArchives; #Yumeships. #EnsembleStars © Happy Elements K.K, David Production.
Larut malam itu, terjadi rintik-rintik hujan. Sebagai kenalan, ia mengantarkan seorang wanita, karena disuruh oleh seseorang wanita lainnya.
Ya, meskipun wanita itu dengan kesan menyuruh-nyuruh, dia tak bisa membiarkan seorang wanita, yang berada di hadapannya kini tuk pulang sendiri.
Benar saja, dengan alasan menghindari suatu hal yang tak mengenakan. Namun, dia; Hidaka Hokuto, melupakan suatu tanggungjawabnya sebagai Idola.
Ia tak seharusnya berduaan dengan seseorang dilarut malam bersama dengan wanita. Apalagi zamannya sudah modern, netizen yang melihat bisa saja akan ada berita buruk.
Ia mengantar Rein, wanita tersebut. Nama panjangnya Hizafa Rein, tetapi lebih akrab disapa sebagai Rein.
Awalnya, Rein menolak keras, karena dia tinggal di sebuah rumah bersama kakak kembarannya. Ia beralasan tak mau repot-repot harus menjelaskan, mengapa Hokuto harus mengantarnya, pasalnya sang kakak masih bisa menjemput dirinya.
Ya. Itu akan terjadi kalau Rein, bukanlah seseorang yang susah menerima bantuan. Dia tak mau merepotkan siapapun, selagi dirinya masih mampu tuk melakukan semuanya sendiri.
Akan tetapi, kejadian tersebut telah berlangsung satu jam yang lalu. Jadi, tiada alasan lagi. Hokuto kini mengantarkan Rein selamat ke rumahnya sendiri. Dengan dihujani berbagai pertanyaan dari kembaran Rein, ia harus mengatakan semua itu.
“Kak, sudahlah. Fauraza tadinya juga memaksaku, jangan memaksa dia untuk mengobrol panjang lagi. Dia sekarang tampak lelah.”
Rain; kembarannya, sekarang menatap Rein dengan tanda tanya besar. Mengapa ia perlu menghentikan pembicaraan? Pikirnya.
Hanya saja ia urungkan, setelah mengingat kembali perkataan sebelumnya, yang membahas pekerjaan. Alhasil, ia membatalkan pertanyaan panjang itu.
“Terkadang, dirimu itu harus lebih tegas, Rein. Meskipun status Fau-san itu lebih tinggi dari kita, setidaknya ia tahu batasan memaksa itu seperti apa. Ah, sudahlah.”
Rain mengusap kasar wajahnya. Ia kemudian menatap Hokuto disana, seolah tahu pembahasan selanjutnya. Dia tak sengaja mendengar pembahasan antara Hizafa bersaudara di hadapannya sekarang.
“Omong-omong, apa kau ingin menginap disini atau ingin pulang? Ya, mungkin aku tidak akan menyiapkan lebih, karena fasilitas di rumah ini sangat terbatas.”
“Kakak, jangan bertindak begitu.”
“Ah, ... iya. Aku pulang saja—”
“Hoku, tidak apa-apa. Ini sudah larut, jangan paksakan dirimu. Bicara saja kepada orang tuamu, kalau dirimu akan menginap. Tetapi, maaf kalau nanti akan tidur dilantai.”
Rein dengan segera mengatakan hal tersebut tanpa pikir panjang.
“Apa? Aku cukup yakin, saat ini aku sedang bersama Rein, tetapi ... sudahlah. Aku tidak akan mengoceh lagi. Anggap saja rumah sendiri.”
Rain lekas meninggalkan keduanya. Murung, itulah air muka yang dipergunakan oleh Rein. Ia tahu batasannya. Ia sangat mengerti, kalau saat ini dia sedang panik sampai-sampai tak bisa berpikir jernih seperti kakaknya. Ah, lagi-lagi Rein iri dengan kakaknya.
Hokuto mengalihkan pandangannya sesaat mendapatkan panggilan dari seseorang. Oh, ternyata itu adalah Ayahnya, Hidaka Seiya. Wajar saja, seorang Ayah sangat cemas apabila anak semata wayangnya ini belumlah pulang.
Hokuto mulai mengangkatnya, dia bukanlah orang yang akan membiarkan panggilan tersebut didiamkan saja.
“Hocchan! Kenapa belum pulang? Apakah ada sesuatu yang harus dikerjakan hingga larut malam seperti ini?”
Pertanyaan beruntun dari sang Ayah. Dengan ragu-ragu ia akan menjawabnya, tetapi Rein sekarang menyadari dirinya bahwa ia akan mengungkapkan sesuatu. Hokuto sedikit ragu dengan hal ini. Tetapi ia mulai memberikannya kepada Rein.
“Maafkan saya sebelumnya, Pak. Saat ini saya yang berbicara adalah Hizafa Rein, mungkin terdengar asing. Tetapi saya meminta izin dahulu, kalau anak Bapak akan menginap di rumah saya.”
Rein menjeda sesaat dan kembali melanjutkannya.
“Soalnya, Hokuto juga sudah kelihatan lelah. Saya tidak enak memaksakan dirinya untuk pulang, apalagi Bapak harus menjemput dirinya. Tadinya dia mengantarkan saya, karena sudah larut dan juga sedang terjadi hujan.”
Terdengar kalimat ragu dari sudut pandang Hokuto, tetapi Rein mengatakan hal jujur.
“Tentu saja, Kakak saya bersedia. Mungkin besok pagi, Hokuto akan kembali beraktivitas seperti biasanya kalau dia tidak merasakan rasa lelah.”
Belum ada jawaban. Ayahnya Hokuto mungkin kaget, ketika seseorang laki-laki yang akan dihubunginya malah seseorang perempuan menjawabnya. Sampai akhirnya,
“Baiklah, kalau Nak Rein berkata demikian. Terima kasih sudah menjaga anak Bapak. Titip salam ya, untuk Hocchan.”
Ya. Seharusnya itu respons yang postif.
“Ayahmu, titip salam. Lalu, untuk tidur. Apa Hoku bisa tidur di lantai? Disana ada karpet, mungkin akan melindungi dari dingin, setidaknya. Kalau di kursi yang ada bahu dan kaki akan terasa pegal juga akan merasa sakit. Disana juga sudah terdapat selimut maupun bantal. Biasanya kami mengenakan itu, ketika masih merasakan hawa dingin dipagi hari.”
Rein yang biasa menjelaskan seadaanya, kini berkata sangat panjang. Hal tersebut cukup diluar dugaan Hokuto. Ia mengira, Rein tidak akan berkata sepanjang itu. Sepertinya ia salah.
Seolah apa yang dilihatnya saat ini bukanlah Rein. Terasa seperti déjà vu atau mungkin tidak? Entahlah.
“Tidak apa-apa, itu sudah sangat cukup. Terima kasih, Rein.”
Hokuto bangun lebih awal. Ia tak ingin merepotkan Rein beserta Kakaknya itu. Terlebih, dia sepertinya enggan berhadapan dengan Rain untuk sekarang. Tidak menghiraukan apakah ia dengan benar istirahatnya, atau tidak.
Hanya saja, ternyata Rein lebih bangun lebih awal. Hokuto awalnya sedikit heran dari ekspresinya seolah meminta Rein menjelaskan, mengapa dirinya bisa terbangun malam seperti itu.
Rein hanya berkata, “Ah ... Entahlah. Itu sudah menjadi kebiasaan,” sahutnya.
“Itu cukup buruk untuk kesehatan.”
“Aku tahu. Tidak perlu diingatkan,” desis Rein. Ia tak mau ada seseorang membahas tentang kesehatan. Apalagi ia merupakan orang yang sangat tidak bisa berhadapan dengan kesehatan itu pula.
Ya, kisahnya Rein tidak pernah memperhatikan kesehatannya sendiri, itulah salah satu dari berbagai alasan yang dipunya.
Keduanya kembali canggung. Hokuto mengambil kegiatan untuk mengemasi barang yang akan dibawa, untuk kembali pulang ke rumah miliknya.
Rein seketika mengatakan sesuatu, yang membuat Hokuto sedikit merasakan kehilangan. Seolah, perkataan Rein itu kembali membuat dirinya menyelami masa lalu di mana ia mengabaikan perkataan Akehoshi Subaru, sebagai salah satu teman satu unitnya.
“Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari, kalau kita sebetulnya tidak bisa bersama. Akan ada kalanya, netizen mengumbar fakta-fakta yang akan menjatuhkan dikemudian hari. Aku mungkin bisa saja sedih, tetapi teman-temanmu, juga dirimu, Hokuto, pastilah akan lebih sedih.”
Itu baru awalan. Tetapi sudah kepikiran. Hokuto telah mengucapkan kata pisah untuk Rein, dan lekas kembali ke rumahnya. Padahal, masih saja di jalan tak disangka ada banyak halang rintangan.
Hokuto menghela napas frustrasi. Tak bisa disangka, Ayahnya kembali menghubungi pagi-pagi buta ini. Mengabarkan telah terjadi suatu berita, tentang Hokuto.
Apakah benar, hal ini yang dimaksud dari balik perkataan Rein tadi?
“Kalau saja, kita tidak mengenal satu sama lain. Mungkin saja, Hokuto sekarang sudah sangat sukses. Ya, tentu saja. Meskipun tiada status apapun diantara kita, selain Idola dan penggemar. Sepertinya tidak buruk, kalau hanya sekadar itu saja, bukan?”
Hokuto sekarang yang tidak bisa berpikir dengan jernih. Ayahnya langsung menjemput dia di lokasi terakhir Hokuto berpijak. Tidak sulit untuk menemukan Hokuto, karena ada sistem yang menunjukkan lokasi. Ya, Ayahnya cukup tertolong berkat hal tersebut.
Padahal belum lama ini, Ayahnya harus mengurus pekerjaan tour idola lainnya. Tetapi, tak disangka akan ada kejadian seperti ini pula. Biar bagaimana pun juga, sekarang adalah hari yang tak bisa diungkapkan oleh sekadar tulisan semata.
Hanya sekadar Idola dan penggemar? Apa itu artinya sebelum terjadi hal tadi ... Lebih dari sekadar?
Hokuto larut dalam pemikirannya. Ia hanya melamun dalam sepanjang perjalanan.
To Be Continued.