Alunan Kata, Melodi Rasa
Nanamegi Nanaki x Nakahara Kurumi. #FaureGift; #NanaKuru.
When poetry shows happiness for the beloved. written by @dreamereein (Faure).
#FanfictionArchives; #Yumeships. #18Trip © Liber Entertainment, Pony Canyon.
Seorang gadis berwarna rambut pink lembut dilihat oleh mata, menyerupai kelopak bunga sakura yang tertiup angin, sebab dirinya yang sedari tadi duduk di dekat jendela ruangan tersebut. Ekspresi wajahnya terlihat mengerut, ia merasa agak kesulitan untuk menyelesaikan sesuatu yang kini berada di kertas miliknya. Sudah berapa jam yang lalu tangannya selalu menari di atas kertas, tetapi wajah itu justru memancarkan rasa kurang puas terhadap hasil karyanya.
Nada petikan senar gitar mengisi keheningan, membentuk melodi yang terasa akrab baginya. Gadis itu mendongak, sehingga matanya bertemu dengan mata sang pemuda yang senyuman tidak jauh berada di hadapannya saat ini. “Ah, Nanamegi-senpai! Maaf aku tidak memperhatikan dirimu datang kemari,” ujar gadis itu terlihat agak menyesal.
Lelaki itu, Nanamegi Nanaki menggelengkan kepalanya pelan, terlihat helaian rambut cokelat miliknya yang sedikit bergelombang ikut bergerak seiring dia bergerak. Dengan nada lembut, ia kemudian bertanya kepada sosok gadis yang tak jauh berada di hadapannya, “Tidak masalah. Kelihatannya Nakahara-san sedang sibuk membuat sesuatu. Apa aku justru mengganggumu?”
“Nanamegi-senpai tidak mengganggu, kok! Sepertinya, mungkin aku terlalu fokus sama pekerjaanku sendiri sampai tidak memperhatikan,” sahut gadis bersurai merah muda itu, dengan cepat menentang pertanyaan bahwa dirinya seakan-akan terasa terganggu. Padahal, kalau tidak ada yang menyadarkan dirinya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya itu, mungkin dia bisa saja berada di tempat itu seharian.
“Hm, baiklah kalau begitu.” Nanaki hanya tersenyum tipis saat mendengar itu. Namun, perhatiannya segera beralih ke kertas-kertas yang berserakan di sekitar gadis itu. Rasa penasaran akhirnya menguasainya, hingga ia bertanya, “Sebenarnya, apa yang sedang Nakahara-san lakukan sejak tadi?”
Gadis itu, Nakahara Kurumi, yang masih menatap lelaki di hadapannya, mulai menjelaskan, “Ah, ini tugas membuat puisi. Hanya saja, menurutku larik di bait terakhirnya terasa tidak teratur.” Ia memperlihatkannya kepada Nanaki, sementara Nanaki mulai mengambil posisi duduk ternyaman di samping Kurumi.
“Aku izin coba lihat sebentar, ya.” Perkataan itu sukses membuat Kurumi meneguk saliva. Saat ini, di mata Kurumi, kakak kelas yang duduk di sampingnya lebih terlihat sebagai ketua klub. Pancaran aura karismatiknya sungguh luar biasa, menurut Kurumi.
Nanaki menatap kertas-kertas berisi puisi itu sejenak, lalu mengangkat alisnya. Ekspresinya menunjukkan ketertarikan saat melihat larik-larik yang dirangkai dengan begitu hati-hati oleh Kurumi. Ia mulai tersenyum kecil, lalu berkata “Nakahara-san, bagaimana kalau dirimu mencoba mengubah ritmenya sedikit? Mungkin dengan menyesuaikan panjang lariknya, puisimu akan terdengar lebih mengalir.”
Mendengarkan hal itu, Kurumi diam sejenak. Ia tidak kepikiran sampai ke situ. “Lagi pula, puisi itu seperti musik, 'kan? Terkadang, kita perlu sedikit improvisasi supaya nadanya terdengar pas.” Nanaki melanjutkan ucapannya tadi, lagi-lagi mengalihkan atensi Kurumi.
“Itu benar! Nanamegi-senpai keren sekali sewaktu bicara seperti itu, jadi fokusku tadi agak teralihkan.” Kurumi melukis senyum lebar dan mungkin lebih terkesan jahil terhadap kakak kelasnya sendiri. Padahal, Nanaki sudah membantunya untuk mengatasi kesulitannya dalam membuat sebuah puisi.
Wajah Nanaki mulai merona, alasan mengapa ia sering kali mudah jatuh cinta, bisa saja karena ia selalu digoda oleh orang-orang terdekatnya, sama seperti sekarang ini. “Nakahara-san, bagaimana kalau aku coba membantu dirimu dengan menggunakan nada-nada dari permainan gitarku?” tawar Nanaki, berusaha mengalihkan perhatian terhadap apa yang dikatakan oleh Kurumi tentang dirinya.
Kurumi menatap lekat kakak kelasnya itu, sejujurnya ada perasaan tidak berkenan baginya untuk merepotkan kakak kelasnya yang satu ini. Kurumi mencoba memastikan sekali lagi, “Eh, Nanamegi-senpai mau bermain gitar untuk membantuku? Bukankah, itu justru menambah pekerjaan untukmu?”
Nanaki mulai menunjukkan senyum tipis pada wajahnya. “Sekarang ini aku sedang tidak punya pekerjaan, kok. Jadi, tidak ada masalah kalau sekadar memainkan gitar.”
Pemuda itu tampaknya memiliki keinginan sendiri untuk bisa membantu Kurumi akan pekerjaannya. Setidaknya, untuk kali ini dia ingin membiarkan Kurumi mendengarkan alunan nada yang dibuat dari puisinya sendiri.
Nanaki melanjutkan perkataannya seraya berkata, “Jadi, bagaimana kalau aku menghabiskan hari ini bersama Nakahara-san sambil membantumu menyelesaikan tugasmu? Siapa tahu, saat aku mencoba memainkan gitar nanti, Nakahara-san bisa mendapatkan bayangan nada-nada yang cocok untuk puisimu.” Nanaki kembali berdiri sambil memegang gitarnya saat mengatakan kalimat tersebut.
Rambut cokelat lembut yang agak bergelombang itu, sebenarnya bisa melihat keraguan dari figur indah di hadapannya ini memiliki warna senada antara rambut dan matanya. Walaupun menurut Nanaki, tidak ada hal yang perlu dipermasalahkan tentang ini. Ia akan terlihat senang, jika dirinya bisa membantu adik kelasnya yang satu ini.
Kurumi mulai berdiri, sepertinya sekarang ia sudah memikirkan penawaran dari Nanaki dengan baik. Kurumi kemudian berkata, “Baiklah, kalau begitu mohon bantuannya, Nanamegi-senpai!” Kurumi membungkuk bersamaan saat ia mengatakan hal tersebut kepada Nanaki yang berada di hadapannya.
Canggung. Nanaki tidak bisa beradaptasi dengan perilaku Kurumi yang seperti ini. “Tentu saja, aku akan coba mulai memainkan gitar milikku, ya.” Pada akhirnya, ia mulai mengalihkan perhatian Kurumi lagi dengan mulai memainkan gitarnya, setelah berkata seperti itu.
Kurumi mendengarkan nada-nada yang mengalun dari gitar Nanaki. Melodinya sederhana, tetapi terdengar sangat lembut, seolah-olah bisa merangkai perasaan yang tersembunyi di balik setiap larik puisinya. Entah bagaimana, alunan itu terasa pas—seakan menggambarkan isi puisinya tanpa perlu banyak kata.
Saat mengingat kembali, ia menyadari betapa hebatnya kakak kelasnya ini. Walaupun Nanaki hanya membaca puisinya sekilas, ia sudah mampu menemukan alunan nada yang sempurna untuk menjadikannya musikalisasi. Sungguh, Kurumi ingin segera memuji Nanaki, tetapi ia menahan diri. Ia memilih untuk tetap diam, membiarkan kakak kelasnya itu memainkan gitarnya hingga selesai. Baru setelahnya, ia akan meluapkan kekagumannya tanpa henti.
Beberapa menit berlalu, akhirnya permainan gitar Nanaki telah selesai. Belum ada beberapa detik Nanaki menyandarkan gitar di sampingnya dan meregangkan bahu. Ia penasaran dengan pendapat Kurumi, makanya ia pun bertanya, “Bagaimana—”
“Keren! Luar biasa! Sangat sempurna!” Kurumi berseru dengan penuh antusias, tanpa sadar memotong ucapan dari Nanaki. “Menurutku, Nanamegi-senpai keren sekali! Nada-nada yang dimainkan terasa begitu selaras, nyaris seperti cerminan dari puisiku sendiri.”
Ia menatap Nanaki dengan kagum, masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Bagaimana bisa Nanamegi-senpai melakukan itu hanya dalam beberapa menit setelah membaca puisinya?!” tanya Kurumi, mungkin seharian ini dia akan terus meluapkan kekagumannya.
Nanaki tampak terkejut karena ada banyak perkataan yang dikatakan oleh Kurumi dalam satu waktu, meskipun tidak dalam satu tarikan napas. “Kebetulan diksi yang Nakahara-san pergunakan pada puisi itu, berupa kosakata sederhana yang masih bisa aku pahami, kurang lebih seperti itu.”
Kurumi mendengar jawaban dari Nanaki. Itu benar-benar diluar dugaan. Namun, memang benar kosakata yang Kurumi pergunakan terbilang cukup sederhana. Sebab, Kurumi sendiri tidak mungkin akan membuat puisi yang dia sendiri tidak tahu arti kosakatanya. Biar bagaimanapun, dia tidak akan melakukan hal nekat untuk sesuatu seperti ini.
“Oh, benar juga, sih …” gumam Kurumi.
Nanaki sebenarnya ingin memilih kosakata yang cocok untuk mengungkapkan kalimatnya, tetapi kalimat tersebut yang malah tersampaikan kepada Kurumi. “Ah, maafkan aku kalau itu menyinggung dirimu,” sahut Nanaki, dia merasa bersalah.
“Ah, Nanamegi-senpai tidak perlu meminta maaf!” Kurumi tersenyum kecil sambil menggaruk pelan pipinya yang sebenarnya tidak gatal.
Ia kembali melanjutkan, “Aku memang masih kurang ahli dalam memilih kosakata yang indah untuk puisi. Tapi, tenang saja! Selama aku memahami maknanya, dan dengan bantuan Nanamegi-senpai, sekarang aku bisa melanjutkan puisiku.”
Kurumi menatapnya dengan penuh rasa terima kasih sebelum akhirnya berkata dengan tulus, “Terima kasih banyak atas bantuannya, Nanamegi-senpai!”
Sekilas senyuman terbit diwajah Nanaki. Ia merasa senang, ketika keahliannya dalam bermain musik seperti ini ternyata bisa membantu pekerjaan orang lain, walaupun sekadar memberikan bayangan dengan alunan nada-nadanya. “Kalau Nakahara-san sudah termotivasi begini, aku tak punya alasan untuk tidak menantikan hasilnya. Lagi pula, aku juga senang bisa membantu,” tuturnya terdengar lembut.
Kurumi mengangguk penuh semangat dengan senyum yang lebar terlukis pada wajahnya. “Pastinya! Aku akan menyelesaikan puisinya sebaik mungkin!”
Mereka saling bertukar tatapan sesaat sebelum tawa kecil meluncur di antara mereka. Tak ada yang perlu diucapkan lebih jauh—musik dan puisi sudah berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Angin mulai bertiup dari jendela tepat di sampingnya Kurumi duduk tadi. Mulai memperlihatkan langit yang tadinya cerah kini telah berubah menjadi semburat jingga keemasan, menyapu cakrawala dengan warna lembut yang menenangkan, sekaligus menemani keduanya menghabiskan waktu seharian ini bersama-sama.
End.
Note! Nakahara Kurumi belongs to @dearnanaki from Twitter for Writing Gift.