Afeksi Nyata
A light kiss of affection. written by @dreamereein (Faure).
#OriFictArchives. #FaureStory; Travel Chain Universe.
Kecupan ringan pada pipi ia persembahkan, kepada sang kekasih yang entah kapan membalas perasaannya. Akan tetapi, ia akan tetap setia dengan gadis itu. Karena, anak perempuan yang telah tumbuh bersama semenjak ia masih kecil itu, merupakan cinta pertamanya, sekaligus teman masa kecilnya.
Dunia memang selalu mempunyai cerita untuk setiap pasangan. Ada yang bertemu dengan klise, ada juga yang bertemu dengan cara tidak baik. Tetapi, baik dan buruknya bisa dinilai kembali dengan kejadian yang memang terjadi. Dan, hal itu terjadi pula sewaktu pertama kali mereka bertemu kembali. Pertemuan yang sangat buruk.
Itu telah terjadi berapa tahun lamanya. Mungkin, ada sekitar satu atau dua tahun? Yang pastinya, belum tepat tiga tahun. Semenjak si gadis memutuskan untuk mengikuti Ayahnya ke negara luar, di mana negara sang Ayah lahir tanpa mengajak kembarannya.
Dirasa bahwa, hanya selama tiga tahun mereka menetap di sana. Tanpa pikir yang panjang, kehilangan tanpa jejak akan sangat menyakitkan hati. Tidak, bukannya ia tidak bersyukur dengan tiga tahun itu, hubungan keluarga si anak lelaki kian membaik.
Walaupun, tahun-tahun yang menyedihkan ia ganti dengan menghabiskan waktu bersama teman. Ia berhasil mendapatkan teman baru, tanpa melupakan teman yang lama; sosok yang pernah ia cintai dahulu.
Reaksi yang mungkin tidak bisa dia bayangkan, kini muncul pada air muka gadis di hadapannya. Ia tersipu malu. Bahkan, gadis tersebut tidak tahu harus berkata apapun, ketika mendapati perilaku seperti itu secara tiba-tiba.
“Shika!” serunya, “Apa yang sedang kau lakukan?” Ya, dia pada akhirnya bersuara sembari memegang wajahnya. Ia sungguh tidak mempercayai hal ini. Rasanya, seorang Hizafa Rein selalu bisa mengetahui gerak-geriknya selama ini. Padahal, apa yang dilakukan seorang Shika atau Tsukihiko Yoshikazu hanyalah sebatas apa yang diinginkannya saja.
“Gift for you,” ucapnya sembari menepuk pelan kepala sang gadis yang merupakan pujaan hati.
“Hei! Hadiah macam apa itu dan hadiah untuk apa?” Rein menepis tangan Yoshikazu dari atas kepalanya. Saat ini, Rein bisa menggapai tangannya karena mereka sedang duduk bersama di tempat yang Yoshikazu temukan. Entah dengan cara apa ia bisa menemukan lokasi tersebut.
“Santai sedikit, Rein. Itu hanyalah hadiah ulang tahunmu yang sekiranya sudah sangat terlambat,” balas Yoshikazu mulai mengusap-usap tangannya. “Dan aku hanya meminta saran kepada sepupuku.”
“Kau menyebalkan, Shika. Padahal, tidak perlu memberikan hadiah, ucapan selamat pun aku akan terima,” sahut Rein. Ia tidak mengerti, kenapa orang suka sekali memberikan hadiah? Padahal, sekadar kata ucapan saja sudah membuat bahagia. Namun, kalau memang ada yang berniat untuk mengucapkan, sih.
“Kutebak, pasti diantara kedua orang itu.” Entah dapat angin darimana, Rein mulai menebak demikian. Perasaan, seingat Yoshikazu tadi Rein cukup merasa malu, ah, kalau dipikir yang tadi memang sungguh memalukan.
Rona tipis muncul pada wajahnya Yoshikazu, ia menutup mulutnya dengan beberapa jari. Bisa saja sekarang, kepercayaan dirinya akan menghilang sekarang juga. Kebiasaan dirinya yang selalu melakukan tanpa pikir panjang, membuatnya terjebak dalam pemikiran sendiri. Hal ini sungguh membuat dirinya mencoba berpikir lebih banyak.
Rein mulai mengoyang-goyangkan telapak tangannya dihadapan Yoshikazu, berpikir kalau sosok yang berada di sampingnya ini malah melamun, dan benar saja!
“Ya ampun, kau justru melamun sekarang! Hei, apakah kau mendengarkanku?” tanya Rein, aga sedikit mendekati wajahnya Yoshikazu. Si pemuda yang mendapatkan atensi dari sang gadis pujaan, agak sedikit menjaga jarak akibat terkejut.
“Eh, maaf. Rein berbicara apa?” balas Yoshikazu, berusaha membuat Rein harus mengulangi tebakannya tadi. Lekas, Rein menghela napas panjang.
“Aku tadi berbicara mengenai sepupumu, apakah yang memberikan saran adalah kedua orang itu?” Rein mengulangi pernyataannya.
Yoshikazu mengusap leher belakangnya, yang tidak terasa apapun. Ia hanya bingung membalas apa, karena faktanya memang demikian. Yoshikazu memang tidak begitu akrab dengan sepupunya, tetapi kakaknya mungkin agak sedikit akrab dengan mereka. Alhasil, dibeberapa kesempatan ia akan mencoba untuk mengakrabkan diri. Ketika ia berada dalam organisasi atau sebuah klub.
Untuk kedua orang dimaksudkan adalah sepupunya dari pihak Ayah, yaitu Hizamara Fauraza, dan sepupunya dari pihak Ibu, ialah Kaitosawa Shuu. Kedua orang yang mungkin pakar akan percintaan dan kasih sayang dengan manusia di luar sana. Tetapi, belum ada keinginan untuk memiliki pacar. Namun, untuk Fauraza mungkin sedang melakukan proses pendekatan dengan sahabatnya, Kazuhiko Arata, sekaligus teman satu kelasnya saat masih di Akademi.
“Itu benar, lebih tepatnya yang menyarankan hal tadi itu adalah Shuu-san. Kalau Fauraza hanya menyarankan diriku untuk melakukan sedikit surprise,” jelas Yoshikazu. Rein menaikan alisnya, ketika mendapati pernyataannya adalah benar. Akan tetapi, sekarang yang menjadi fokus utamanya adalah sesuatu yang dimaksudkan surprise.
“Surprise apalagi?” Yoshikazu yang ditanya hanya menaikan bahu, ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana 'surprise' yang dimaksudkan oleh Fauraza yang telah dikatakan kepadanya. “Astaga ....”
Afeksi yang diberikan oleh Yoshikazu nyata adanya. Rein bisa mengetahui semua itu lewat tatapan matanya. Ada perasaan yang mendalam, ketika Rein tak sengaja bertatapan dengan Yoshikazu. Meskipun aslinya, Rein tidak bisa menjelaskan apa maksud dari semua pernyataan yang dia dapatkan dari orang sekitar.
Apakah mungkin Yoshikazu menyukainya? Menepis pemikiran mustahil tersebut, ia memang sudah berteman lama dengan Yoshikazu. Kendati, pernah melupakan sosok menawannya yang memang belum pernah bertemu kembali semenjak sepuluh tahun berlalu.
Rein tahu, kalau semua orang sering kali membicarakan dirinya yang mungkin selalu bisa mendapatkan perhatian dua keluarga tersorot oleh umum. Bahkan, Rain sebagai kakak kembarannya saja, tidak pernah sampai sedekat itu dengan keluarga ternama seperti dirinya.
Terkadang, perasaan yang bersalah yang berpotensi merusak semua hubungan mereka. Orang-orang memang tidak mengganggu secara fisik, tetapi mentalnya selalu dipertaruhkan. Kalimat menyakitkan itu terus melukai hatinya. Secara pikiran, ia selalu memprioritaskan sesuatu yang berkaitan perkataan. Tetapi, kalau semua hal terjadi tak sesuai keinginan, perlahan rapuhlah dirinya.
Yoshikazu memanglah teman masa kecilnya. Namun, bukan berarti ia akan selalu bersama dengan dirinya. Rasanya, untuk bersama figur tersebut saja sangat sulit. Melihat para penggemar perempuan atau mungkin laki-laki selalu mengajaknya ngobrol terlebih dahulu. Semua itu akan langsung berbanding terbalik, kalau Yoshikazu bersama dengan dirinya.
Selalu Yoshikazu yang memulai topik pembicaraan, untuk mengatasi rasa canggung mereka setelah beberapa tahun tidak bertemu. Dulunya, memang dia yang selalu mengutarakan terlebih dahulu. Akan tetapi, tidak semua hal di masa lalu bisa tetap sama di masa kini.
Yoshikazu yang dulu sangatlah pemalu. Ia adalah anak yang mudah menangis, apabila suatu kejadian itu menyangkut orang terdekatnya. Dibandingkan Rein, yang bisa terbuka hampir mirip Fauraza, tapi tidak mirip juga. Tidak tahu mengapa, semua itu malah terjadi kepadanya.
Apakah takdir yang Maha Kuasa membalikan kepribadian mereka? Lekas pemikiran itu ditepis mentah-mentah, karena seiring berjalannya waktu orang akan berubah. Ya, kalau memang ada usaha dari mereka juga.
“Ah, aku lupa. Untuk yang tadi, terima kasih banyak, Shika. Padahal, aku hanya teman masa kecilmu, tetapi dirimu justru berusaha membuatku senang seperti dulu,” kata Rein yang sepertinya sudah tidak bisa melanjutkan ucapannya.
Yoshikazu sedari tadi tetap bersamanya dan membiarkan Rein larut dalam imajinasinya, sembari mereka berkeliling kesana-kemari, sebelum memutuskan pulang. Tadinya, Yoshikazu sangat bersyukur bahwa hari itu adalah hari libur. Di mana Rein tidak akan bekerja sampingan di hari libur.
Akan tetapi, setelah mendengarkan pernyataan dari Rein. Hatinya terasa memanas. Semua yang terjadi usai begitu saja. Rona yang bewarna serupa dengan bunga Sakura, perlahan menghilang, ketika telinga dia mendengarkan pernyataan 'Aku hanya teman masa kecilmu'. Apakah semua yang dilakukan, usahanya tidak membuahkan hasil?
Apakah ini yang selalu dihadapi oleh sepupunya—Fauraza, ketika menghadapi sosok Arata? Ah, tidak. Itu adalah dua hal yang berbeda. Tidak mampu menahan semua perasaanya, Yoshikazu tidak lagi jernih memikirkan kedepannya.
“Rein, jangan berbicara seperti itu,” kata Yoshikazu, ia mulai meraup wajah Rein. Sungguh kejutan bagi seorang Rein, mendapati perlakukan tiba-tiba dari teman masa kecilnya. Rein merasa malu sekarang. Rasanya, ia tak akan mampu menatap Yoshikazu lebih lama, akan tetapi tangan miliknya membuat mereka harus menatap satu sama lain dalam waktu lama.
Yoshikazu lanjut berkata, “Aku ingin lebih dari teman masa kecil, Rein.” Netra merah yang menatap iris mata hijau milik Rein lebih dalam dibandingkan biasanya.
Sekarang ia telah memantapkan hatinya, “Aku memang bukan orang yang spesial dihatimu dan bukan pula seperti sepupuku, yang mungkin lebih mengetahui tentang 'Apa itu cinta?' Bahkan, untuk melakukan hal seperti tadi bukan tanpa alasan. Meskipun menurutmu, aku adalah orang yang tidak pernah berpikir dua kali. Tetapi, semenjak kejadian itu aku telah memikirkan berulang kali.”
“Apa?” Rein merespons dengan bibir yang kaku untuk mengeluarkan pertanyaan dari apa yang ia dapatkan saat ini. Otaknya benar-benar tidak mampu menampung apa yang dikatakan oleh Yoshikazu.
Untuk pertama kalinya, Yoshikazu menyinggung kalimat, 'apa itu cinta?' Rein tidak mampu berkata-kata, yang pada akhirnya dibalas kembali oleh Yoshikazu.
“Aku selalu menahan diri untuk mengatakan hal yang berpotensi akan membuat hancurnya hubungan kita selama ini.” Yoshikazu agak gemetar mengatakan semua ini sekaligus. Ia takut kalau Rein akan menjaga jarak, setelah dirinya mengungkapkan semua ini.
“Jujur saja, aku tidak ingin berpisah denganmu, Hizafa Rein.”
“Rein, serius akan pergi?” sahut anak laki-laki itu, seraya memegang ujung pakaian milik si anak gadis.
“Sangat disayangkan memang. Tetapi, aku akan tetap pergi, Shika. Aku harap jaga dirimu baik-baik, ya? Apabila sudah waktunya tiba, aku janji akan bertemu kembali denganmu!”
Untuk usia anak-anak, janji mereka dibuat dengan mengaitkan jari kelingking. Entah apapun janjinya, semua akan berpusat kepada janji kelingking.
“Apa Rein mau berjanji kepadaku juga, kalau saat sudah tiba kemari, tidak akan pernah berpisah dariku?” Anak itu malu-malu mengatakannya, tetapi semua perasaan malu itu ia tepis. Ia berusaha percaya diri untuk mengatakan hal itu.
“Astaga Shika, tentu saja! Aku pasti tidak bisa berpisah dengan teman pertamaku.” Rein mengukir senyum diantara mereka, walau nyatanya anak sekecil itu tetaplah merasakan sedih yang mendalam.
Yoshikazu sekarang menunduk dan menenggelamkannya di leher Rein. Dirinya tak sanggup memperlihatkan raut wajahnya. Kenangan masa lalu yang menyedihkan sekaligus menyenangkan. Perkataannya benar-benar membuat Rein terdiam di tempat.
Setelah dua tahun melakukan pendekatan, dan sepuluh tahun ditinggal pergi. Bagi Yoshikazu, rintangan untuk mendapatkan sosok pujaan hati sangatlah menyulitkan. Tetapi, semua itu sepadan dengan semua waktu yang berhasil mereka habiskan, layaknya teman masa kecil yang berpisah sekian lamanya.
Rein tidak habis pikir, semua yang melesat dari mulut Yoshikazu langsung diserap olehnya. Apakah tidak apa-apa, kalau dirinya menangis saja sekarang? Meskipun, ia kurang bisa mengekspresikan semua ini. Akan ada perasaan yang membuat dirinya tanpa sadar memperoleh berbagai macam raut muka.
Rein memberanikan diri untuk bertindak lebih dewasa. Meskipun mereka berdua sama usianya, akan tetapi Rein tetaplah yang lebih tua diantara mereka. “Shika, apakah dirimu akan terus seperti ini?” tanya Rein. Sejujurnya, ia tidak sanggup mengatakan semua itu. Tetapi, ia tidak mampu juga untuk memendam semua ini terlalu lama.
Yoshikazu mulai kembali seperti sedia kala. Ia telah mengambil segala oksigen yang ada didekatnya. Mencoba merilekskan pemikirannya sekarang, supaya tidak gegabah seperti tadi. “Maafkan aku, seharusnya sedari dulu aku bersikap jujur kepadamu, Rein.”
“Shika, hal yang berlalu telah terjadi di masa lalu. Jadi, tidak apa-apa, kalau dirimu jujur sekarang. Rasanya, aku melihat sosok dirimu yang dahulu. Ah, ingatanku sudah kembali sewaktu dirimu mengatakan hal terakhir tadi,” jelas Rein sembari mengutarakan senyum yang tulus.
“Rein ....” Rasa canggung kembali mendominasi. Tetapi, saat inilah sering menjadikan Rein, seperti sosok yang berbeda.
“Untuk pertama-tama, aku akan berterima kasih sudah mengatakan itu semua. Rasanya, menyedihkan sekali kalau tadi aku sempat berpikir bahwa dirimu menyukaiku. Tetapi, bagaimana bisa itu terjadi? Aku sangat bingung membalas pernyataanmu, untuk terus bersama.”
Yoshikazu menatap tidak percaya dengan apa yang sedang Rein katakan. “Tsukihiko Yoshikazu, itu namamu. Dirimu adalah orang yang spesial bagiku, selain keluargaku dan bahkan teman-temanku. Berkat dirimu yang dulu, aku bisa lebih banyak belajar pengetahuan umum. Ketika kita bertemu semenjak kejadian itu, kau sudah memberitahukan padaku, bukan?”
Sesuatu yang pernah Yoshikazu beritahukan. Hanyalah sewaktu pertama kali mereka bertemu di masa remaja. Rein melanjutkan ucapannya, “Tentang sesuatu di masa depan, entah itu benar atau tidak. Masa sekarang adalah masa sekarang, tetapi di masa itu dirimu dan diriku tetap bisa menjalin hubungan tanpa adanya kehancuran. Bahkan, sepertinya aku lebih terbuka dibandingkan yang sebelumnya, kurasa? Aku memang tidak bisa membayangkannya.”
“Rein, apakah semenjak hari itu dirimu benar-benar mengalami skizofrenia? Aku sangat mengkhawatirkan dirimu.” Rein hanya tersenyum simpul.
“Aku tidak apa-apa, Shika. Tidak perlu cemas seperti itu,” sahut Rein begitu lembut selayaknya yang biasa Yoshikazu dengarkan.
“Baiklah, aku tidak akan begitu lagi. Tetapi, balasannya aku ingin mengetahui jawaban dari apa yang aku nyatakan. Rein apakah dirimu bersedia?” tanya Yoshikazu, dia berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya seperti sedia kala.
Rein mencoba menetralkan pikirannya lagi. Mengambil napas dan mencoba memikirkannya kembali. “Selagi dirimu bisa kembali akur dengan keluargamu, dan aku diterima oleh mereka. Bagaimana?”
Yoshikazu yang semula berharap banyak dari reaksi Rein, turut cemberut sekarang. Menurut Rein, reaksi yang dibuat oleh Yoshikazu cukup lucu. Inilah alasannya kenapa dia sering menggoda si pemuda tersebut.
“Rein curang sekali,” gerutunya.
“Aku hanya bercanda—”
“Untuk yang terakhir, aku akan usahakan demi dirimu.” Yoshikazu mengatakan hal itu, seraya memotong ucapan Rein tadi. Walau Yoshikazu sedikit kecewa karena Rein justru mengatakan kalau persetujuan tadi itu, sekadar bercanda. Sekarang, dia menatap Rein yang sepertinya tertegun berkat dia.
“Maafkan diriku, yang sedari dulu selalu tarik-ulur, dengan hubungan lebih dari teman. Bahwa, aku memang masih saja merasakan bingung dengan apa yang aku sendiri rasakan. Namun, aku tetap tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sangat menyenangkan, ketika bisa bersama denganmu.”
Saat itu juga, Yoshikazu tertegun atas pernyataan yang dibuat oleh Rein. Ia sungguh tidak mengira bahwa perasaannya terhadap Rein dapat terbalaskan detik itu juga. Walau dengan perilaku yang awalnya sedikit buruk. Entah mengapa hanya dengan pernyataan tersebutlah, hati mereka justru bisa terasa tenang dan nyaman.
Untuk kedepannya, semoga kita bisa lebih jujur terhadap diri sendiri. Selagi, kita mencoba memahami diri masing-masing.
Itulah harapan yang bersumber dari hati terdalam mereka. Memang tidak diungkapkan, tetapi lewat senyuman tulus keduanya sudah dapat terpancarkan.
“Terima kasih, Rein. Apakah dirimu sekarang tidak keberatan, jikalau menjadi kekasihku?” Sungguh diluar dugaan. Yoshikazu yang dulunya pemalu sekarang bisa menjadi percaya diri terhadap segaka macam perkataan yang dilontarkan.
“Tentu saja ... dan aku sudah menepati janjiku yang dulu, benar?” Rein agak ragu, tetapi hanya sekilas itulah yang bisa dia ketahui.
“Semua janji yang pernah dibuat telah tercapai, Rein.” Yoshikazu mencoba membuat Rein jatuh kedalam pelukannya, sembari ia mengelus rambut bagian belakang milik Rein yang begitu lembut.
“Baiklah, sudah waktunya kita kembali pulang ke rumah.”
“Rumahku?” gurau Yoshikazu.
“Rumah masing-masing, hei!”
End.